REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy*
Pekan ini, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mengeluarkan keputusan terkait gugatan hasil pemilu 2019. Hasilnya kita tahu bersama, MK secara bulat menolak gugatan kecurangan pemilu.
Tulisan ini tidak akan membahas sisi politik paskaputusan MK itu. Rasanya, sudah terlalu banyak narasi yang membahas hal tersebut. Lagi pula kita mesti segera menghentikan narasi politik yang semakin hari semakin meninggalkan 'polusi' di kehidupan bermasyarakat.
Kita tentu rasakan bersama, ruang perbincangan sehari-hari semakin sesak dipenuhi urusan politik. Setiap membuka laman media sosial, unggahan berita politik pasti bertebaran di lini massa. Grup keluarga atau alumni di Whatsapp pun berubah jadi 'medan perang' akibat perbedaan pilihan politik.
Walhasil, akibat overdosis politik selama lima tahun terakhir ini bermuara pada putusnya sendi relasi dan persahabatan. Riset dari PolMark menunjukkan 5,7 persen relasi pertemanan di Kota Jakarta rusak akibat urusan politik pada 2017. Bisa dipastikan angka ini akan terus bertambah pada 2019. Sebab eskalasi perdebatan politik bukannya berkurang, melainkan semakin tinggi.
Celakanya, sebagian anak muda yang jadi tonggak masa depan bangsa juga ikut jadi pencandu perdebatan politik dalam dosis yang berlebihan. Saking overdosisnya sampai-sampai rasionalitas dan kekritisan sebagai ciri pemikiran pemuda berganti jadi fanatisme buta. Padahal ciri kekritisan dan rasionalitas berpikir anak muda inilah yang membentuk lahirnya ide Indonesia pada 28 Oktober 1928.
Akibat fanatisme buta, dunia digital yang harusnya dimanfaatkan pemuda Indonesia untuk berlomba ide kreatif, malah jadi sarana mengadu kebencian akibat beda pilihan. Mereka bukannya menaklukkan dunia digital, malah ditaklukkan oleh berita hoax yang dikonsumsi. Ironisnya, tidak sedikit pula pemuda yang justru menjadi produsen hoax itu.
Segala fenomena yang terjadi akibat overdosis politik itu jelas tak memberi manfaat bagi masa depan bangsa. Overdosis politik di kalangan pemuda ini jelas membahayakan dan mesti segera dihentikan.
Sebab persaingan dunia tidak memedulikan apakah Anda pendukung Prabowo atau Jokowi. Saat kita larut berdebat pilihan politik, dunia tetap berputar dan siap menggilas Indonesia.
Pada titik ini, kita mesti berkontemplasi. Sebab di belahan bumi yang lain, anak mudanya sedang sibuk-sibuknya bertarung ide dan konsep di dunia digital. Di negara seperti Amerika, Jepang, Cina, bahkan Arab Saudi sekalipun, anak muda mereka sedang getol-getolnya menggodok ide kreatif untuk diimplementasikan ke bisnis digital.
Sebaliknya, di Indonesia anak mudanya masih lebih banyak jadi konsumen dunia digital. Celakanya, sudah jadi konsumen itu pun malah dimanfaatkan untuk berkelahi dan berwacana urusan politik.
Kalau anak muda itu berdebat karena terjun langsung sebagai politisi itu masih bisa dimengerti. Yang terjadi mereka pun hanyalah konsumen yang terjerat oleh narasi propaganda politik penuh kebencian.
Sampai lebaran kuda, berdebat soal politik di sosial media tidak akan membuat Anda menaklukkan dunia. Kecuali profesi anda memang sebagai buzzer.
Buah dari bedebat yang tanpa henti itu malah akan membuat anda kehilangan teman dan yang terpenting kehilangan momentum. Momentum yang di belahan bumi lain lebih diisi anak muda untuk bersaing di dunia kreatif dan bisnis digital.
Waktu inilah yang sudah membuat kita ketinggalan dengan perkembangan zaman. Kita tidak sadar bahwa perkembangan pesat ide kreatif dari Silicon Valley, Fukuoka, hingga Zhongguancu siap menginvasi dunia.
Sebagai negara besar yang populasi anak mudanya sangat besar, Indonesia jangan sampai hanya menjadi penonton di tengah pertarungan ide kreatif di dunia digital itu. Indonesia harus ikut menjadi pemain utama dari pertarungan kreatif dunia digital.
Dalam Forum G-20 yang berlangsung pekan ini di Jepang, Presiden Jokowi menyinggung tentang pertarungan kreatif di dunia digital itu sebagai isu utama. Presiden Jokowi menyadari adanya ketimpangan di negara dunia ketiga yang harus mengejar ketertinggalan dari negara lain yang sudah lebih maju dalam bisnis digital.
Pada pidatonya di depan pemimpin G-20, Presiden Jokowi melontarkan ide tentang IDEA Hub. IDEA Hub adalah sebuah gagasan untuk membentuk wadah untuk mengkurasi, mengelola, dan berbagi pengalaman model bisnis digital para Unicorn anggota G-20.
Dengan adanya IDEA Hub maka diharapkan sinergi yang terbangun pelaku bisnis digital di dunia semakin terjalin. Sehingga tercipta sebuah wadah layaknya 'Silicon Valley' untuk bersinergi dan mengadu ide yang sifatnya global.
Ide IDEA Hub itu pun mesti pula disambut pemuda di Indonesia. Kini saatnya pemuda Indonesia melupakan debat politik dan fokus memanfaatkan ruang sosialnya untuk berdiskusi ide kreativitas. Sebab faktanya, jutaan pemuda Indonesia yang hanya larut berdebat politik hanya akan sanggup mengupdate status Facebook semata. Sebaliknya, dua anak muda Indonesia saja yang berdebat ide kreatif (Nadiem Makarim dan Kevin Aluwi) sanggup menggoncang dunia!
*Penulis adalah Redaktur Republika
from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2LsnBsoBagikan Berita Ini
0 Response to "Overdosis Politik dan IDEA Hub Ala Jokowi"
Post a Comment