REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Calon kepala Polri Idham Azis menegaskan, radikalisme tidak bisa dikaitkan dengan agama Islam. Pernyataan ini disampaikan Idham saat menjawab pertanyaan dalam uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) sebagai kapolri di Komisi III DPR pada Rabu (30/10).
"Radikalisme tidak bisa diidentikkan dengan Islam. Radikalisme itu kelompok atau oknum. Tidak bisa radikalisme itu membawa simbol agama," kata Idham.
Komisi III DPR sepakat menyetujui Komjen Idham Azis diangkat menjadi kapolri menggantikan Jenderal Tito Karnavian. Kesepakatan itu diraih secara aklamasi dalam rangkaian uji keptutan dan kelayakan terhadap Idham.
"Semua fraksi berkesimpulan bahwa tidak perlu lagi membuat pandangan fraksi. Namun, keputusan yang diambil semua poksi mengambil keputusan aklamasi untuk menyetujui Saudara Komjen Idham Azis menjadi kepala Kepolisian Republik Indonesia," kata Ketua Komisi III Herman Herry. Selanjutnya, pimpinan Komisi III meminta agar pimpinan DPR langsung menggelar paripurna hari ini, Kamis (31/10).
Isu radikalisme yang selalu dialamatkan pada Islam menjadi topik hangat dalam uji kepatutan dan kelayakan Idham. Poltikus PKS Aboebakar Alhabsy menyebut ada kesan di lapangan bahwa umat Islam seperti memiliki jarak dengan kepolisian. "Seakan-akan polisi kurang ramah dengan umat," ujar Aboebakar. "Kami takbir, dibilang radikal. Kami baca Quran, (dibilang) radikal. Janganlah!"
Meski pribadi Idham diyakini tak jauh dengan Islam, pada praktiknya kesan Polri dan umat Muslim saling berhadapan tidak dapat terelakkan. Karena itu, Idham diminta menjelaskan pemahamannya soal terorisme dan radikalisme. Terlebih, Idham merupakan sosok yang memiliki kiprah dalam aksi radikalisme dan terorisme dari Poso hingga dr Azhari.
"Saya lihat, percaya dengan Bapak, bagaimana visi Bapak tentang relasi dengan umat agar hubungan harmonis. Bagaimana agar terjadi suasana seimbang yang nyaman?" kata Aboebakar mengajukan pertanyaan. Pertanyaan serupa juga dilayangkan Fraksi PAN.
Idham menyatakan, untuk mengatasi masalah tersebut, ia mempunyai visi membangun komunikasi. Komunikasi itu dibangun dengan para pemuka agama, termasuk kiai maupun habib. Ia menegaskan akan turut mengampanyekan bahwa radikalisme tak bisa dikaitkan dengan Islam maupun agama mana pun.
"Kita harus kampanyekan. Kalau kita (melakukan) penegakan hukum itu pun ke oknum, bukan ke agama," kata pria yang masih menjabat kabareskrim tersebut.
Sementara itu, soal Pilkada 2020, Idham menjamin netralitas Polri. Ia berjanji tidak akan ragu menindak oknum anggotanya yang tak netral pada Pilkada 2020. "Saya jamin polri netral. Kalau tidak, saya tindak," kata Idham.
Mengakhiri uji kelayakan dan kepatutan, Idham mengutip tulisan Presiden ke-3 RI BJ Habibie dalam buku Detik-detik yang Menentukan. "Izinkan kami mengutip apa yang dikatakan Bapak Habibie, 'Kepada Tuhan saya tidak akan bertanya mengapa, kenapa, dan bagaimana. Namun, jika hamba diperkenankan mengajukan satu permohonan maka berilah hamba petunjuk serta kekuatan untuk mengambil jalan yang benar sesuai dengan kehendak-Mu,'" kata Idham membacakan buku tersebut.
Kasus Novel
Dalam rangkaian uji kepatutan tersebut, anggota DPR seakan lupa dengan kasus Novel Baswedan, penyidik KPK yang diserang dengan air keras. Kasus itu berkaitan langsung dengan Idham karena Idham merupakan kepala Polda Metro Jaya dan kabareskrim yang menangani kasus tersebut. Sampai saat ini kasus itu belum terungkap.
Namun, selepas uji kepatutan tersebut, Idham mengaku akan memilih kabareskrim baru demi menuntaskan kasus Novel. "Saya nanti begitu dilantik, saya akan menunjuk kabareskrim baru dan nanti saya beri dia waktu untuk segera mengungkap kasus itu," kata Idham. n arif satrio nugroho/febrianto adi saputro, ed: ilham tirta
from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2q8DqfeBagikan Berita Ini
0 Response to "Idham Azis: Radikalisme Bukan Islam"
Post a Comment