REPUBLIKA.CO.ID, JAKATA -- Selang 300 tahun setelah Burzoe menerjemahkan Panchatantra, pasukan Muslim berhasil menguasai Persia. Seorang Persia yang menjadi mualaf, Ibnu al-Mukaffa, berhasil menemukan Panchatantra yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia kuno. Dia kemudian menerjemahkan Panchatantra versi Persia itu ke dalam bahasa Arab yang kemudian diberi judul Kalila wa Dimna.
Dalam hasil terjemahan Arabnya, Kalila dan Dimna adalah dua ekor rubah yang menjadi tokoh utama cerita. Kisah-kisah Kalila dan Dimna ini sebenarnya ditujukan sebagai panduan untuk melayani rakyat. Ibnu al-Mukaffa berhasil menulis karya yang sangat menyenangkan untuk dibaca, sehingga menjadi salah satu bacaan yang paling banyak dibaca di dunia Muslim.
Kisah dua ekor rubah itu pun sempat dibawa dari Arab ke Spanyol. Di sana kisah Kalila dan Dimna sempat diterjemahkan dalam bahasa Spanyol kuno pada abad ke-13. Di Italia, buku Kalila wa Dimna justru menjadi salah satu buku yang pertama muncul setelah ditemukannya lukisan.
Dalam perkembangannya, fabel ini diterjemahkan dalam bahasa Yunani, Latin, Jerman, dan banyak bahasa lainnya. Versi Arab dari Panchatantra ini juga diterjemahkan dalam bahasa Ethiopia, Turki, Melayu, Laos, Kamboja, bahkan Jawa. Pada abad ke-19, buku ini diterjemahkan kembali dalam bahasa Hindustani. Artinya, setelah 1.700 tahun beredar ke berbagai negara, fabel ini kembali ke tempat asalnya, Kashmir.
Satu hal lagi yang patut dicatat dari fabel ini adalah setelah berabad-abad melanglang buana, kisah-kisah di dalam Kalila wa Dimna tak selalu sama seperti ketika Ibnu al-Mukaffa menemukan Panchatantra versi Persia yang kemudian diterjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Kisahnya dimodifikasi, ditambah, dan dikembangkan, baik dalam bentuk puisi maupun prosa.
from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2WEbpawBagikan Berita Ini
0 Response to "Kisah Kalila wa Dimna tak Selalu Sama"
Post a Comment