REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syaifudin*
Hoaks mulai meresahkan tatanan kehidupan masyarakat Indonesia. Hoaks seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Keharmonisan sosial bisa berganti menjadi ketegangan, bahkan kekerasan fisik. Begitu hebatnya hoaks!
Secara sosiologis, jika hoaks dibiarkan terus menerus dalam tatatan kehidupan masyarakat Indonesia, maka hoaks bisa menjadi bencana sosial. Mengapa? Sebab mekanisme kerja hoaks mengikis nilai dan norma sosial masyarakat. Jika nilai dan norma sosial mulai tiada, kohesi dan kapital sosial masyarakat juga melemah bahkan hilang.
Untuk itulah hoaks tidak mengajarkan diskursif dan kritis bagi calon korban dan korbannya. Lalu apa yang diajarkan hoaks? Hoaks mengajarkan dan membiasakan masyarakat untuk bersikap prasangka dan kemudian diskriminatif.
Pengetahuan dan ilmu pengetahuan ditikung hoaks Selain itu, hoaks melampaui pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Di situlah kebenaran tidak bisa dijumpai, bahkan disapa. Padahal untuk mencapai kebenaran, harus dilalui dengan pengetahuan dan ilmu pengetahuan.
Nilai dari kebenaran hanya ada pada nilai yang melekat pada pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Adanya pengetahuan dan ilmu pengetahuan karena hasil dari aktivitas manusia yang sadar pada objek yang ingin dikenalnya. Jika manusia merasa dan sadar telah mendapatkan pengetahuan dan ilmu pengetahuan, maka di situlah manusia mendapatkan keyakinan atas objek yang ingin dikenalnya. Namun dengan hadirnya hoaks, perjumpaan manusia dengan pengetahuan dan ilmu pengetahuan terhalang.
Hoaks telah memisahkan akal manusia, dari yang berpendidikan rendah hingga tinggi. Akal manusia diganti oleh seperangkat sentimen. Akal manusia diganti dengan sensasi popularitas. Akal manusia diganti dengan semangat altruistik. Tidak ada kebenaran yang hadir, yang ada hanya kebencian dan diskriminasi.
Hoaks telah menerjang akal manusia. Sehingga dengan mudahnya pengetahuan dan ilmu pengetahuan ditikung bahkan dilengserkan dalam kamus pikiran manusia yang normal. Hoaks telah memberikan stimulus pada perangkat akal manusia mengenai pengetahuan dan bahkan ilmu pengetahuan palsu. Pada akhirnya manakah yang akan menang, hoaks atau pengetahuan dan ilmu pengetahuan?
Hoaks dalam politik footage tidak hanya berupa tulisan, foto atau gambar, tetapi juga video umumnya jenis dokumenter. Ada dua kategori video yang hoaks, yaitu; pertama, video yang memang nyata terjadi namun dimanipulasi; dan kedua, video yang sengaja diciptakan untuk menjadi sumber hoaks.
Pada jenis video pertama yang seringkali viral. Video ini dimanipulasi menjadi penggalan video atau dalam istilah sinematografi disebut footage. Footage dapat menjadi bahan baku informasi hoaks. Apalagi jika footage itu mendapat sentuhan editing yang melampaui aslinya. Ditambah lagi dengan adanya UU ITE, lengkaplah sudah perangkat politik footage.
Sudah banyak penelitian yang menyatakan media video mudah dipahami isi informasinya dan mempengaruhi alam pikiran manusia. Itu jugalah yang belakangan ini digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk memanipulasi akal masyarakat.
Footage dinilai lebih efektif digunakan untuk media penyampai informasi hoaks. Sebab masyarakat lebih mudah mencerna dan yakin dengan media audio visual, daripada media tulisan atau gambar atau foto. Bisa dikatakan sesuatu yang diyakini asli, adalah yang bergerak dan sumber informasi itu keluar sendiri dari sumber objeknya.
Footage kini menjadi sarana politik hoaks. Banyak contoh kasus-kasus persekusi yang dimulai dari footage hoaks. Dari footage, kemudian disebar atau diviralkan di berbagai ekosistem media sosial, dan kemudian terjadilah prasangka dan diskriminasi pada objek dalam footage tersebut. Adakah kebenaran tercipta dari pengetahuan manusia dari hoaks footage? Tentu tidak. Yang ada adalah pengetahuan palsu.
Politik hoaks melalui footage tentu membuat orang mulai waspada saat aktivitas komunikasinya direkam. Rekaman video sambutan pembuka, dialog regulasi, orasi atas nama demokrasi, orasi atas nama ilmu pengetahuan, bahkan percakapan privat dapat menjadi bahaya jika ditujukan untuk mengaktifkan politik hoaks.
Rekaman hasil video dapat digunakan oknum yang berkepentingan sebagai alat menyerang atau menjatuhkan individu atau institusi yang ada dalam video tersebut. Misalnya saja contoh yang terjadi pada aktivis demokrasi yang sekaligus aktivis 1998, Robertus Robet. Ia menyampaikan orasi di acara Aksi Kamisan pada 28 Februari 2019 lalu. Orasinya direkam dengan durasi asli 7 menit 39 detik dan ditayangkan di Youtube. Pada bagian orasinya, ia menyanyikan lagu parodi mars ABRI yang populer bagi kalangan aktivis 1998 saat massa aksi menggulingkan rezim Presiden Soeharto saat itu.
Saat Robertus Robet menyanyikan lagu parodi mars tersebut, ia sebenarnya sudah menyatakan diawal bahwa ia menyanyikan lagu tersebut sebagai refleksinya yang pernah terjadi pada tahun 1998. Menurut Robertus Robet wacana menempatkan TNI di kementerian sipil artinya menempatkan TNI di luar fungsi pertahanan yang nantinya dapat mengganggu profesionalitas TNI itu sendiri sebagimana yang terjadi di era Orde Baru. Robertus Robet menyampaikan pernyataan itu terkait posisinya sebagai akademisi yang diminta memberikan penjelasan akademis terkait wacana dwi fungsi TNI pada acara Aksi Kamisan.
Namun video asli kemudian dipotong dan dijadikan footage yang berdurasi 29 detik. Footage yang viral adalah bagian saat Robertus Robet menyanyikan lagu parodi mars ABRI dengan diberikan keterangan bahwa Robertus Robet yang menciptakan lagu tersebut dan menciptakan ujaran kebencian dan menghina satu profesi. Maka, viral serta persekusi terjadi. Ini hanya satu contoh dari kasus hoaks footage. Tentu masih banyak kasus lain yang terjadi akibat hoaks footage.
Hoaks footage membahayakan kehidupan demokrasi. Di lain sisi aktivitas komunikasi perlu diabadikan melalui rekaman video sebagai arsip pengetahuan dan ingatan, tetapi di lain sisi dapat menjadi masalah jika dimanipulasi menjadi hoaks footage. Hoaks footage pada akhirnya mengancam kebebasan individu atau kelompok dalam perilakunya, penyampaian pandangannya, ilmu pengetahuannya, dan kritik sosialnya terhadap suatu hal yang memang perlu dikritik.
Ironisnya, tidak sedikit masyarakat yang masih terhipnotis dengan politik hoaks melalui footage. Karena itu, agar masyarakat tidak menjadi korban hoaks, masyarakat harus benar – benar mengaktifkan akal dan kesadarannya. Tidak mudah menerima kebenaran isi dari suatu informasi (baik itu tulisan, gambar atau foto dan footage) sebelum terlebih dahulu mencari informasi yang benar terkait dengan informasi yang diterimanya.
Lalu masih adakah informasi yang benar di era saat ini? Pertanyaan ini mulai sulit di jawab di tengah realitas masyarakat yang sedang krisis kepercayaan antar sesama, dan merasa dirinya yang benar. Sehingga kebohongan dimanipulasi menjadi kebenaran, serta pengetahuan dimanipulasi menjadi informasi yang menipu dengan memanfaatkan celah kebodohan. Akibatnya makin sedikit fondasi pengetahuan, dan makin langkah kebenaran yang tercipta.
Informasi yang benar tentu dapat membuat individu menjadikan informasi sebagai pengetahuan bahkan ilmu pengetahuan. Sehingga ia merasa tercerahkan atas informasi yang diketahui, lalu bersikap kritis atau termotivasi atau simpati-empati. Namun jika informasi yang diterimanya hoaks, maka yang didapatnya adalah prasangka, kemarahan, kebencian, dan dikriminasi terhadap orang lain atau kelompok tertentu.
Karena itulah, penting kiranya pendidikan anti-hoaks dan sistem informasi anti-hoaks ditingkatkan -tentunya ini ada hubungannya dengan budaya literasi. Sehingga masyarakat semakin cerdas dan tidak mudah menerima segala informasi yang belum diketahui kebenarannya. Sebab hoaks tanpa disadari akan mengikis nilai dan norma sosial di masyarakat, bahkan membunuh demokrasi di Indonesia.
*) Pengamat Sosial UNJ
from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2EM6EUOBagikan Berita Ini
0 Response to "Hoaks dan Politik Footage"
Post a Comment