Search

Wetu Telu dan Islamisasi Desa Bayan oleh Putra Sunan Giri

Islamisasi Bayan Lombok Utara semakin menguat pascaruntuhnya Majapahit.

REPUBLIKA.CO.ID, Bagi masyarakat adat Bayan, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, mempercayai agama Islam sudah ada sejak lama yang dibuktikan dengan adanya "Datu Slam" yang dalam bahasa Indonesianya adalah Raja Islam.

Kemudian keislamannya itu semakin disempurnakan melalui kedatangan Syekh Abdul Razak di bumi Bayan pada abad ke-17. Makam Syekh Abdul Razak dimakamkan di Kompleks Masjid Kuno Bayan Beleq.

Selain itu, terdapat juga makam tokoh-tokoh yang menyebarkan Islam, seperti Titi Mas Puluh, Sesait, Karem Saleh dan Pawelangan di dalam bangunan yang berdindingkan anyaman bambu serta beratapkan bilahan bambu yang disusun rapi.

Mereka juga mempercayai bahwa turunnya Islam di Tanah Bayan itu berdasarkan wahyu sehingga wali yang ada berasal dari sana kemudian menyebarkan ke seantero Tanah Air.

Kepercayaannya bahwa wali berasal dari Tanah Bayan yang tentunya kembali lagi ke Tanah Bayan. "Itu cerita dari leluhur kami," kata tokoh pemuda adat masyarakat adat Bayan di Batu Grantung, Raden Kertamaji, di Lombok Utara, Kamis (29/11).

Raden Kertamaji menambahkan Syekh Abdul Razak mejabat sebagai penghulu masyarakat Adat Bayan. "Sejarah orang Bayan itu ada di dalam lontar yang disimpan di Kampung Adat Bayan Timur yang menjadi tempat akhirat," kata sesepuh Desa Batu Grantung, Raden Nyakrawasih.

Sedikit bercerita, Raden Kertamaji menyebutkan konsepsi Wetu Telu yang selalu dikaitkan terhadap masyarakat Adat Bayan itu, adalah tidak benar.

Islam di Bayan sempurna, yakni Wetu Lima seperti penganut Islam lainnya menjalankan salat lima waktu, bukannya tiga waktu. "Wetu telu yang benar adalah tumbuh, bertelur dan lahir, itu makna manusia selama ini bersama tumbuh-tumbuhan di sekitar kita dan binatang," katanya.

Mungkin bisa dikatakan wetu telu itu sebagai filosofi atau tuntunan hidup masyarakat Adat Bayan, sedangkan dalam beribadah agama Islam tetap menjalankan salat lima waktu.

Babad Lombok dibukukan dalam "Lombok, Penaklukan, Penjajahan dan Keterbelakangan 1870-1940" karangan Alfons van Der Kraan, dosen jurusan Sejarah Ekonomi Universitas Murdoch di Perth, Australia.

Di buku itu disebutkan bahwa Susuhunan Ratu Giri (Sunan Giri) di Gresik, Jawa Timur, memerintahkan supaya keyakinan yang baru itu (Islam) dibawa ke pulau-pulau itu. Dilembu Mangku Rat dikirim dengan sebuah pasukan bersenjata ke Banjarmasin, Datu Bandan dikirim ke Makassar, Tidore, Seram, dan Galea.

Dan seorang putra Susuhunan sendiri, Pangeran Prapen ke Bali, Lombok dan Sumbawa. Prapen berlayar pertama-tama ke Lombok, dimana dengan kekerasan ia mengubah keyakinan rakyat untuk memeluk agama Islam. Setelah melaksanakan tugas itu, ia melanjutkan pelayaran ke Sumbawa dan Bima.

Akan tetapi, selama kepergian Prapen, terutama karena para wanita masih terus menganut keyakinan penyembah berhala, sebagian besar rakyat Lombok kembali ke penyembahan berhala itu. Setelah kemenangan-kemenangan di Sumbawa dan Bima, Prapen kembali dan dibantu oleh Raden dari Sumuliya dan Raden dari Salut (Sasak).

Ia (Sunan Prapen) menyusun gerakan baru yang pada waktu ini berhasil. Sebagian penduduk lari ke pegunungan, sebagian lagi tunduk dan beralih keyakinan dan masuk Islam dan sebagian lainnya hanya ditaklukan.

Kemudian Prapen meninggalkan Raden dari Sumuliya dan Raden Salut untuk bertanggung jawab mempertahankan Islam di daerah itu dan berpindah ke Bali, dimana ia mulai perundingan-perundingan (yang tidak berhasil) dengan Dewa Agung dari Klungkung.

Maka sesuai Babad Lombok, bisa dikatakan penyebar agama Islam di Bayan, yakni Sunan Prapen yang merupakan putra dari Sunan Giri pada abad ke-16 atau setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit pada 1478. 

Let's block ads! (Why?)

from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2FMmvqn

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Wetu Telu dan Islamisasi Desa Bayan oleh Putra Sunan Giri"

Post a Comment

Powered by Blogger.