REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Iman Sugema
Sejak beberapa bulan yang lalu, media dalam dan luar negeri ramai membicarakan kemungkinan Indonesia akan memasuki krisis nilai tukar seperti halnya yang terjadi pada Turki maupun Venezuela dan Argentina. Bahkan, ada yang mengembuskan isu terjadinya krisis moneter seperti tahun 1997-1998 yang memorak-porandakan sendi-sendi perekonomian nasional.
Mana yang benar? Krisis nilai tukar ataukah krisis moneter? Kedua-duanya salah. Pakai definisi apa pun, sangat sulit untuk bisa mencari bukti-bukti yang sahih menurut teori ekonomi yang menunjukkan kita berada di ambang krisis. Jangankan sudah krisis, mendekati krisis saja tidak. Kita masih jauh dari krisis nilai tukar maupun krisis moneter.
Buktinya? Supaya bisa dipahami oleh masyarakat awam, saya hanya akan melakukan pembuktian terbalik dengan logika sederhana. Krisis moneter atau dalam bahasa Inggris disebut financial crisis mencakup hal yang lebih luas daripada krisis nilai tukar. Selain terjadi krisis nilai tukar, di dalamnya juga mencakup krisis fiskal, krisis perbankan, dan krisis di pasar keuangan pada umumnya.
Supaya sederhana, kita akan mencari pembuktian apakah krisis nilai tukar sedang terjadi. Baru setelah kita sepakat bahwa ada krisis nilai tukar, kita uji lagi apakah Indonesia sedang mengalami krisis moneter. Kalau tidak ada krisis nilai tukar, berarti tidak ada juga krisis moneter.
Krisis nilai tukar didefinisikan sebagai terjadinya pelemahan nilai tukar secara berlebihan (excessive). Selama sembilan bulan terakhir, nilai tukar rupiah mengalami depresiasi sebanyak 9,7 persen.
Dalam 12 bulan terakhir, rupiah melemah melawan dolar AS sebanyak 12,5 persen. Karena ada kata excessive, maka kita ambil angka yang terbesar. Pertanyaannya, 12,5 persen depresiasi itu sudah menunjukkan kita berada dalam krisis atau tidak? Berapa persen depresiasi yang berlebihan?
Mari kita pakai ukuran yang sederhana saja. Hampir empat tahun Joko Widodo menjadi presiden. Sebelum ini, hampir tidak terdengar adanya kehebohan tentang krisis.
Empat tahun sebelum Pak Jokowi jadi presiden juga relatif sepi dari isu krisis. Secara empiris, berarti para ekonom sepakat bahwa empat tahun sebelum Jokowi menjadi presiden tidak ada krisis.
Kalau itu kita sepakati, maka cara membuktikannya gampang. Karena pada periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sempat ada gonjang-ganjing krisis keuangan global, maka kita ambil periode yang relatif sepi isu krisis, yakni antara Oktober 2010 sampai Oktober 2014.
Kalau di antara periode empat tahun itu menunjukkan adanya depresiasi yang melebihi 12,5 persen per tahun (yoy) dan karena dalam periode itu ekonom tidak pernah menyebutnya sebagai periode krisis, maka kita mestinya sepakat bahwa sekarang pun tidak ada krisis.
from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2ONhWvUBagikan Berita Ini
0 Response to "Tahun Krisis atau Tahun Politik?"
Post a Comment