REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kisah yang satu ini, menegaskan kepada kita ihwal pentingnya mensyukuri segala anugerah, meski kita ditakdirkan hidup di tengah keterbatasan. Seperti cerita tentang generasi tabiin, Abu Qilabah, yang dikutip dari 'Asyiqun fi Ghurfat al-Amaliyat karya Syekh Muhammad al-Arifi yang dialihbahasakan oleh Abu Hudzaifah al-Atsary. Abu Qilabah hidup dengan keterbatasan fisik, tapi tetap bersyukur.
Suatu ketika, di tengah pada pasir, Abu Ibrahim berjalan sendirian. Tidak tahu arah tujuan setelah mengambil keputusan meninggalkan tempat sebelumnya yang penuh dengan rupa-rupa fitnah dunia. Dalam perjalanan yang tidak terasa sudah meninggalkan jauh dari tempat semula, dia tersesat tidak bisa pulang.
Setelah beristirahat sejenak, dia melanjutkan perjalanan. Abu Ibrahim belum memutuskan akan menamatkan langkahnya di daerah mana. Yang ada di pikirannya ketika itu, berjalan saja sampai kaki tidak bisa dilangkahkan.
Setelah beberapa langkah, Abu Ibrahim melihat sebuah tempat kumuh (tenda). Dari kejauhan dia telah memperhatikan, setelah kakinya hampir mendekat ternyata di dalamnya ada seorang tua yang duduk di atas tanah dengan sangat tenang. Tapi, mulutnya bergerak-gerak halus, seperti sedang melafalkan kata-kata yang diulang-ulang terus menerus.
Setelah melihat keseluruh bagian tubuhnya, Abu Ibrahim melihat bahwa orang tua itu kedua kaki dan tangannya buntung, matanya buta. Dia hidup sendirian tanpa sanak saudara di tempat itu.
Setelah Abu Ibrahim mendekatkan telinga ke mulutnya, ternyata ia mengulang-ulang kalimat yang artinya, "Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia. Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia."
Abu Ibrahim heran mendengar ucapannya. Melihat kondisi fisiknya yang tidak punya kedua dan kaki, matanya buta, dan tidak memiliki apa-apa, tapi mengapa pujian tersebut muncul?
Karena penasaran, Abu Ibrahim mendekatinya. Namun, baru saja mulut Abu Ibrahim berucap dia sudah lebih dulu bertanya. Meski buta, dia mengetahui ada orang lain yang sedang mendekatinya.
"Siapa? Kamu siapa?" tanyanya kepada Ibrahim.
"Assalaamualaikum. Aku seorang yang tersesat dan mendapatkan kemah ini," katanya.
"Nah, sekarang kamu sendiri siapa?" Tanya Abu Ibrahim menetralkan perasaannya.
Karena belum dijawab, Abu Ibrahim kembali bertanya. "Mengapa kau tinggal seorang diri di tempat ini? Di mana istrimu, anakmu, dan kerabatmu?"
Karena tidak ada pertanyaan lagi setelah ditunggu beberapa detik, Abu Qilabah menjawab. "Aku seorang yang sakit. Semua orang meninggalkanku dan kebanyakan keluargaku telah meninggal," katanya.
"Kudengar kau mengulang-ulang perkataan, 'Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia!' Demi Allah, apa kelebihan yang diberikan-Nya kepadamu, sedangkan engkau buta, fakir, buntung kedua tangannya, dan sebatang kara?" desak Abu Ibrahim penasaran.
"Aku akan menceritakannya kepadamu, tapi aku punya satu permintaan kepadamu. Maukah kamu mengabulkannya?" ujar Abu Qilabah.
from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2NqrQHdBagikan Berita Ini
0 Response to "Nikmat di Tengah Keterbatasan"
Post a Comment