Search

Gus Solah dan NU: Perginya Sosok Panutan Yang Santun

Berbagai kenangan manis berkecamuk saat kenang Gus Sholah.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

‘’Jagalah Republika baik-baik. Dialah satu-satunya suara umat  Islam!. Itulah nasihat KH Solahudin Wahid (Gus Sholah) yang sellau terngiang di telinga. Dia ucapkan kalimat ini beberapa tahun silam, dalam sebuah penerbangan saat menjadi calon presiden bersama Wiranto pada pilpres 2004 silam.

Gus Solah memberi nasihat dengan sangat dingin. Sebagai jurnalis pemula yang ditugaskan menguntit beliau di setiap acara kampanye, maka keakrab pun terjadi. Kami pergi berkunjung ke beberapa kiai di berbagai pesantren dan habaib yang ada di Jawa, Sulawsi dan Kalimantan. Gus Solah memang sangat dihormati. Nama besar ayah dan kakeknya yang merupakan tokoh pendiri Nahdlatul Ulama membuatnya semakin berkharisma.

Selain itu ‘bekal darah biru, tentu ada bakatnya alamnya, yakni Gus Solah adalah seorang cerdas karena beliau menyelesaikan pendidikan tingginya di ITB. Dan bila dibandingkan dengan kakaknya ‘Gus Dur’, Gus Solah memang terlihat lebih adem dan tenang. Dia cenderung pendiam dan berkata lirih. Bakat organisasinya sudah tumbuh dari muda, karena dia adalah salah satu pendiri aktvis mahasiswa pencita alam yang hingga sekarang tetap kondang, yakni Wanadri.

Selain itu Gus Solah kerap datang ke kantor Republika. Hal yang sama juga dilakukan mendiang pamannya KH Yusuf Hasyim (Pak Oed) semasa masih hidup. Dalam pertemuan itu topiknya bermacam-macam mulai dari politik kontemporer hingga soal-soal sosial-keagamaan.

Bahkan yang terakhir, setelah Gus Solah balik ke Pesantren Keluargnya di Tebu Ireng, setiap kali bertemu dia cenderung bicara soal agama dan pengelolaan pendidikan Islam. Termasuk juga ketika mendiskusikan soal wacana sekolah berasrama. Gus Solah terkesan biasa saja. Maah secara humoris dia mengatakan sejak dahulu pesantren itu merupakan pendidikan berasrama mengapa kini ribut betul. Bahkan terakhir melalu media sosial tampak papan nama pesantren dibuat menjadi istilah dengan mengenakan nama Inggrs juga  ‘Boarding School’.

Uniknya, eski menggenggam tugas leluhur sebagai penerus dan pengasuh ‘Pondok Pesantren Tebu Ireng yang didirikan mendiang kakeknya KH Hasyim As’ari, Gus Solah dua kali tak berhasil memenangkan pemilihan sebagai Ketua Umum PB NU. Serangan balik yang dilancarkan rival pesaingnya saat itu adalah dianggap dia kurang ‘kiai’  atau kurang alim karena dianggap menyesakan sekolah di ITB, bukan ke luaran atau lulusan pesantren.

Dan ketika ditanya soal ini, Gus Solah hanya tersenyum saja dan terlihat enggan menjawabnya. Ia jelas paham bahwa kampanye balik itu hanya akal-akalan saja, sebab sejatinya Ketua PBNU seharusnya lebih fokus pada sisi manajerial sebab urusan keagamaan itu lebih tergantung pada sikap Mustasyar NU, sebagi kumpulan para ulama 'khos' dan berpengaruh.

Tentu, sebagai darah biru NU, tentu saja Gus Solah sangat perhatian pada  kaum Nahdliyin. Hal itu kemudian diwujudkan dengan kesediannya balik menjadi pengasuh pondok pesantren Tebu Ireng, meninggalkan posisinya sebagai seorang profesional di Jakarta.

Salah satu perhatian kepada nasih warga Nahdliyin yang teringat adalah pada soal kencenderungan ‘stunting’ pada anak-anak di pesantrennya. Pada suatu waktu ia bercerita bila kaget ketika menyadari bahwa tubuh para santrinya tergolong tak terllau tinggi dan bertubuh mungil. Dia pun bertanya-tanya apakah para orang tua mereka masih berada dalam taraf ekonomi yang tak terlalu baik atau masih rata-rata sebagai mana orang kebanyakan?

Kegilsahan dia kemudian dituangkan dalam sebuah artikel di sebuah media massa ibu kota.  Beberapa waktu setelah itu kemudian ada respons dari pihak yang berwenang bahwa soal-soal stunting yang digelisahkannya diperhatikan dengan baik.

Dalam hal itulah terlihat Gus Solah begitu perhatian pada kondisi warga Nahdilyin secara keseluruhan. Dia selalu merasa dan gelisah bahwa generasi NU harus tumbuh dengan baik, baik itu dalam kemampuan inteletual dan ekonomi. Katanya, bukankah negara Indonesia akan kuat bila warga NU sejahtera? Sebab, jumlah warga NU adalah sangat besar sehingga pertaruhan kesejahteraan negara juga tercermin pada kualitas hidup mereka.

Nah, bila hari ini Gus Solah wafat kepeduilannya pada nasib umat Islam itulah yang selalu terkenang. Gaya bicaranyayang lirih menjadi 'batu ingatan' bila bangsa ini punya sosok yang tenang,penyabar, dan tidak gampang obral janji. Dan sikap ini terbukti pada pemilu 2004 ketika pada keputusan Mahkamah Konstitusi menyatakan pasangan Wiranto dan Solahudin Wahid tersingkir dalam persaingan perolehan suara guna maju ke putaran kedua dalam Pilpres tersebut.

‘’Bagaimana tidak kalah, bukti kami tak bisa diterima semua. Mana mungkin Mahkamah Konstitusi punya waktu untuk menghitung dan menyeleksi alat bukti kertas suara yang sampai berkontainer-kontainer itu,’’ kata Gus Solah dengan sikap kalem.

Dan sekarang Gus Solah telah menghadap Al-Khalik. Dia pergi dengan segudang jasa kepada bangsa ini. Allahumaghfirlahu warhamu….

`

Let's block ads! (Why?)

from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2RRoLk7

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Gus Solah dan NU: Perginya Sosok Panutan Yang Santun"

Post a Comment

Powered by Blogger.