Search

Sri Mulyani Keluhkan Penumpukan Dana Daerah Hingga Rp 186 T

Mayoritas dana yang menumpuk berada di daerah dengan kekayaan SDA yang melimpah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, sebanyak Rp 186 triliun dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) masih mengendap di rekening kas daerah per akhir November. Angka ini sudah membaik dibandingkan kondisi bulan-bulan sebelum Oktober yang dapat mencapai Rp 220 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyayangkan adanya endapan dana tersebut. Padahal, anggaran TKDD yang sudah disiapkan pemerintah pusat terus meningkat dari tahun ke tahun.

"Tapi, sampai di sana (pemerintah daerah) pindah lagi ke akun bank saja dan tidak dipakai," ucapnya dalam rapat bersama Komite IV DPD di Gedung DPD, Jakarta, Selasa (14/1).

Sri tidak menyebutkan secara spesifik daerah-daerah yang masih memiliki tumpukan dana di rekening daerah. Tapi, ia menyiratkan kebanyakan di antara mereka merupakan daerah dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Pasalnya, mereka jarang menemui masalah kas daerah hingga menyebabkan penumpukan.

Sri berharap, kondisi tersebut dapat menjadi pemikiran bersama, termasuk oleh DPD. Sebab, TKDD seharusnya dapat dibelanjakan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi di daerah tersebut.

"Padahal kan setiap rupiah kalau bisa dipakai untuk kesejahteraan ada manfaatnya," tutur mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu.

Dari catatan Kemenkeu, anggaran TKDD terus naik sejak 2015. Terakhir, pada 2020, pemerintah pusat menganggarkan TKDD sebesar Rp 856,9 triliun atau naik hampir enam persen dibandingkan tahun lalu yang diperkirakan realisasinya mencapai Rp 811,3 triliun. Pada 2015 sendiri, besaran TKDD adalah Rp 623,1 triliun.

Sri menjelaskan, kenaikan anggaran TKDD dilakukan untuk memperbaiki kualitas layanan dasar di daerah, seperti akses air minum dan sanitasi layak hingga angka partisipasi murni SMP. "Di sisi lain, memperbaiki daya saing Indonesia dan mendorong agar belanja-belanja ke daerah makin produktif," katanya.

Sri mengatakan, kenaikan ini terlihat seiring dengan perbaikan kualitas output pelayanan dasar daerah. Misalnya , akses sanitasi layak yang rata-rata nasional pada 2018 mencapai 69,27 persen, naik dibandingkan 2015 yang hanya 62,14 persen. Sementara itu, bayi di bawah dua tahun atau baduta yang stunting turun secara rata-rata nasional dari 23,08 persen pada 2015 menjadi 20,07 persen pada 2018.

Anggota Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) daerah pemilihan Sulawesi Selatan, Ajiep Padindang, menilai bahwa endapan yang terjadi di daerah bukan semata disebabkan pemerintah daerah. "Ternyata biangnya adalah kebijakan dan peraturan teknis dari pemerintah pusat," katanya dalam kesempatan yang sama.

Ajiep menuturkan, peraturan teknis dari kementerian terkait belum mampu mengakomodir kemampuan daerah untuk membelanjakan TKDD. Khususnya dari sisi sumber daya aparatur yang memiliki kapasitas untuk mengelola anggaran. Ia menilai, aspek ini belum menjadi perhatian pemerintah pusat.

Lebih lanjut Ajiep menuturkan, pemerintah pusat tidak mengetahui pasti bagaimana kondisi kelurahan, kemampuan beban, sistem bendahara dan pola camat dan lurah ataupun kondisi struktural di dalamnya. Karena kondisi ini, banyak daerah dan kota yang tidak merealisasikan belanja.

"Semata-mata bukan kesalahan dari kabupaten-kota, tapi terkait aturan pusat yang teknis," katanya.

Dalam APBN 2020 alokasi TKDD paling besar ditujukan untuk Dana Alokasi Umum (DAU) Rp 427,1 triliun. Komponen TKDD lainnya adalah Dana Bagi Hasil (Rp 117,6 triliun), Dana Alokasi Khusus Fisik (Rp 72,2 triliun), DAK non-fisik (Rp 130, 3 triliun), Dana Insentif Daerah (Rp 15 triliun), serta Dana Otsus dan Keistimewaan DIY (Rp 22,7 triliun).

Let's block ads! (Why?)

from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2Rmo4xE

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Sri Mulyani Keluhkan Penumpukan Dana Daerah Hingga Rp 186 T"

Post a Comment

Powered by Blogger.