REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia
Banyak yang terkejut dengan rencana Mendikbud Nadiem Makarim untuk menghapus atau merevisi UN --atau apa pun istilahnya--. Padahal, menurut saya, ini cuma bagian kecil dari perubahan besar yang mungkin harus dilakukan departemen pendidikan kita.
Walau banyak yang menentang, saya termasuk yang setuju. Saya sepakat dengan pidato beliau, “potensi anak tidak dapat diukur dari hasil ujian, tetapi mereka terpaksa mengejar angka karena didesak berbagai pemangku kepentingan.”
Ada yang bilang UN adalah cara menguji seberapa besar keberhasilan pendidikan di Indonesia. Benarkah? Indikasi yang disebut hasil pendidikan, dalam konteks sekolah, masih harus diuji kebenarannya.
Cukup banyak siswa yang berhasil lulus dengan nilai baik atau masuk perguruan tinggi negeri, merupakan hasil gemblengan Bimbingan Belajar (Bimbel). Seberapa besar persentasenya? Ini yang harus dikaji. Jika besar, UN sebagai alat ukur hasil berarti masih semu. Kecuali, jika bisa dipastikan hanya siswa yang sama sekali tidak ikut bimbingan belajar, yang masuk hitungan berhasil. Maka, akan murni menunjukkan hasil pendidikan di sekolah.
Tentu ini bisa dianggap hanya asumsi. Saya sempat melemparkan pertanyaan pada si bungsu yang kebetulan masuk perguruan tinggi untuk mengingat berapa di antara ratusan teman seangkatannya di Universitas Negeri, dari puluhan yang dikenal secara pribadi, yang ikut bimbel dan berapa yang murni belajar di sekolah tanpa bimbel sama sekali.
Jawaban yang diberikan cukup mengagetkan. Tanpa berpikir lama, bungsu saya menjawab, “nggak ada. Semua teman di satu angkatan yang dikenal sebelumnya, ikut bimbel.”
Pada ananda yang perempuan, pertanyaan serupa saya ajukan. Si sulung berpikir cukup lama, lalu menyimpulkan tidak satu pun teman yang dikenalnya di Universitas Negeri yang tidak mengikuti bimbel. Ini pastinya masih bisa diperdebatkan.
Mustahil 100 persen siswa yang diterima di perguruan tinggi negeri merupakan hasil bimbel. Berita-berita yang bertebaran di media menjadi salah satu bukti.
Anak tukang becak masuk PTN. Walau orang tuanya tukang sampah, ia lolos UNBK. Masih banyak berita senada lain. Atau apakah ini justru bukti sedikitnya pelajar tidak mampu yang sukses menembus PTN, hingga mereka menjadi berita? Semoga tidak.
Bagaimanapun sistem pendidikan kita terkesan terbebani terlalu banyak kurikulum, yang dengan jumlah waktu dan guru yang ada, sulit untuk maksimal. Lebih buruk lagi, jika dikaji secara mendalam belum tentu semua materi pendidikan yang ada pasti penting atau jelas berguna bagi kepentingan siswa di masa depan.
Kata “penting” dan “berguna” ini keduanya harus digarisbawahi sebagai pijakan.
Bahasa Indonesia untuk komunikasi penting, tapi tidak semua kita harus menguasai SPOK dan teori linguistik. Biarlah pelajaran linguistik diperuntukkan bagi mahasiswa yang memang memilih mendalami teori bahasa.
Belajar sejarah pun penting bagi masa depan, tapi tidak mesti seluruh siswa menghafal semua tahun, nama seluruh tokoh, jumlah tentara atau korban perang. Ilmu alam, fisika, kimia, biologi penting, tapi tidak semua pelajar harus hafal di luar kepala, berbagai rumus sin, cos, tangen, geometri, dan hal yang hanya dipakai sebagian orang yang kelak memang akan mendalami secara spesifik di bidang terkait.
Intinya, evaluasi bahkan revolusi ulang, mana yang harus dikuasai siswa, mana yang sekadar perlu mereka ketahui (bagian kedua tidak boleh masuk dalam soal ujian sehingga tidak membebani siswa), mana pula yang cukup dipelajari oleh mereka yang berminat saja.
Sementara itu, saat ini begitu banyak mata pelajaran tertumpu pada pundak seluruh siswa dan bobot materi dalam mata pelajaran itu dianggap sama, sehingga wajar jika para pelajar mengalami kebingungan mana yang harus dipelajari mana yang bisa sedikit dinomorduakan. Padahal, tidak semua harus dihafal di luar kepala.
Dunia pendidikan perlu bijak memahami, ada ilmu yang akan dipakai dalam kehidupan -nyaris siapa pun- yang mempelajarinya. Seperti berhitung, penambahan dan pengurangan, pembagian, dan perkalian. Juga membaca dan menulis, Bahasa Inggris dan kini IT.
Komputer dan IT menjadi salah satu ilmu yang akan sangat vital di masa depan. Apa pun profesi siswa setelah lulus kuliah jika dibarengi kemampuan IT akan menjadi nilai tambah. Keduanya sejatinya mendesak untuk dimasukkan dalam kurikulum.
Jika dulu ada A1 Fisika, A2 Biologi, A3 Sosial, dan A4 Bahasa, kini cuma dibagi ilmu sosial dan ilmu alam. Saya justru ingin mengusulkan untuk memasukkan IT dan komputer sebagai pilihan baru, selain dua pilihan di atas saking sangat penting di masa depan. Maafkan kegemasan saya terkait pendidikan di Indonesia.
Rasanya kolom ini terlalu sedikit untuk menyampaikan secara lengkap apa saja perubahan yang mungkin perlu dilakukan. Namun, setidaknya cukup untuk mengingatkan betapa kurikulum pendidikan kita harus diubah bukan hanya secara teknis, melainkan juga materi keilmuan. Kaji lagi keberadaan pelajaran yang kebergunaannya pada masa depan hanya bagi profesi khusus, sebaliknya perbanyak ilmu yang bisa terpakai di semua profesi.
Perjalanan masih panjang, semoga Pak Nadiem menjadi pintu membuka lembaran baru dalam dunia pendidikan. Salam hormat!
from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2RTLA79Bagikan Berita Ini
0 Response to "Revolusi Pendidikan, di Balik Kontroversi Penghapusan UN"
Post a Comment