
Oleh: Menachem Ali, Dosen Philology Universitas Airlangga
Semua kaum Muslim mengakui otoritas pemahaman generasi salaf terhadap teks Quran sebagai tolak ukur "kebenaran" pemahaman keagamaan. Mayoritas pakar studi keislaman telah menyatakan bahwa generasi salaf ternyata hanya merujuk pada tiga generasi yang telah digaransi kredibiltas dan kesahihannya oleh Nabi SAW. Mereka adalah generasi sahabat, generasi tabi'in dan generasi atba'ut tabi'in.
Umumnya, akhir generasi tabi'in disepakati berakhir pada tahun 150 H., sedangkan akhir generasi atba'ut tabi'in disepakati berakhir pada tahun 220 H. Ketiga periode generasi awal sejak era sahabat, tabi'in dan atba'ut tabi'in hingga tahun 220 Hijriyah inilah yang kemudian disepakati sebagai masa "Salaf al-Shalih" dan mereka disebut sebagai "generasi Salaf al-Ummah." Periode generasi salaf yang berakhir pada tahun 220 H, merupakan definisi "generasi salaf" yang amat ketat dan ekstrim.
Sementara itu, ada juga definisi "generasi salaf" yang dapat dikatakan sebagai definisi yang amat moderat, sebagaimana definisi yang termaktub dalam kitab "Tuhfah al-Murid" karya Syaikhul Islam Ibrahim al-Baijuri (w. 1277 H). Dalam kitab "Tuhfah al-Murid" tersebut disebutkan bahwa generasi salaf hanya merujuk pada era kenabian, era sahabat, era tabi'in dan era atba'ut tabi'in, yang berakhir pada masa kehidupan 4 imam madzhab, yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali.
ﺍَﻟْﻤُﺮَﺍﺩُ ﺑِﻤَﻦْ ﺳَﻠَﻒَ ﻣَﻦْ ﺗَﻘَﺪَّﻡَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺎَﻧْﺒِﻴَﺎﺀ ﻭَﺍﻟﺼَّﺤَﺎﺑَﺔِ ﻭَﺍﻟﺘَّﺎﺑِﻌِﻴْﻦَ ﻭَﺗَﺎﺑِﻌِﻴْﻬِﻢْ ﺧُﺼُﻮْﺻًﺎ ﺍﻟْﺎَﺋِﻤَّﺔِ ﺍﻟْﺄَﺭْﺑَﻌَﺔِ ﺍﻟْﻤُﺠْﺘَﻬِﺪِﻳْﻦَ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﺍِﻧْﻌَﻘَﺪَ ﺍﻟْﺈِﺟْﻤَﺎﻉُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻣْﺘِﻨَﺎﻉِ ﺍﻟْﺨُﺮُﻭْﺝِ ﻋَﻦْ ﻣَﺬَﺍﻫِﺒِﻬِﻢْ ﻓِﻰ ﺍﻹِﻓْﺘَﺎﺀِ ﻭَﺍْﻟﺤُﻜْﻢِ . ﺍﻫـ ( ﺗﺤﻔﺔ ﺍﻟﻤﺮﻳﺪ، ﺹ 125 )
("Yang dimaksud sebagai generasi salaf ialah orang-orang yang terdahulu/ generasi awal, diantaranya: nabi, para sahabat dan tabi’in serta tabi’ at-tabi’in, khususnya imam yang empat, yang ahli berijtihad. Merekalah orang-orang yang membuat kesepakatan larangan untuk keluar dari madzhabnya dalam memberikan fatwa dan hukum").
Berdasar pada definisi moderat tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa siapa saja yang hidup setelah masa tabi’ at-tabi’in, yakni masa kehidupan imam madzhab empat, maka semuanya dikategorikan sebagai generasi khalaf. Berdasarkan pada perhitungan tahun masa akhir hidup dari imam madzhab empat yang terakhir, yakni Imam Ahmad bin Hanbal yang wafat pada tahun 241 H/855 M), maka masa generasi salaf berakhir sekitar tahun 241 H. (855 M.), dan selebihnya termasuk generasi khalaf.
Selain itu, ada juga definisi "generasi salaf" yang amat terbuka atau inklusif. Pertama, generasi salaf merujuk kepada para ulama yang hidup sebelum tahun 300 Hijriyah dan generasi khalaf merujuk kepada para ulama yang hidup setelah tahun 300 Hijriyah. Kedua, generasi salaf merujuk kepada para ulama yang hidup sebelum tahun 400 Hijriyah, sedangkan generasi khalaf merujuk kepada para ulama yang hidup setelah tahun 400 Hijriyah.
Ketiga, generasi salaf ialah para ulama yang hidup sebelum tahun 500 Hijriyah, sedangkan generasi khalaf merujuk kepada para ulama yang hidup setelah tahun 500 Hijriyah. Definisi ini sebagaimana yang diterangkan dalam kitab Raudhah al-Ulama’, hal. 51.
ﻭَﻗِﻴْﻞَ ﺍﻟﺴَّﻠَﻒُ ﺍﻟْﻤُﺘَﻘَﺪِّﻣُﻮْﻥَ ﻭَﺍﻟْﺨَﻠَﻒُ ﺍﻟْﻤُﺘَﺄَﺧِّﺮُﻭْﻥَ ﺧِﻼَﻓﺎً ﻋَﻠَﻰ ﺛَﻼَﺛَﺔِ ﺃَﻗْﻮَﺍﻝٍ : ( 1 ) ﺍَﻟﺴَّﻠَﻒُ ﻣَﻦْ ﻗَﺒْﻞَ ﺛَﻼَﺛِﻤِﺎﺋَﺔٍ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻬِﺠْﺮَﺓِ، ﻭَﺍﻟْﺨَﻠَﻒُ ﻣَﻦْ ﺑَﻌْﺪَﻫَﺎ ( 2 ) ﺍَﻟﺴَّﻠَﻒُ ﻣَﻦْ ﻗَﺒْﻞَ ﺃَﺭْﺑَﻌِﻤِﺎﺋَﺔٍ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻬِﺠْﺮَﺓِ، ﻭَﺍﻟْﺨَﻠَﻒُ ﻣَﻦْ ﺑَﻌْﺪَﻫَﺎ ( 3 ) ﺍَﻟﺴَّﻠَﻒُ ﻣَﻦْ ﻗَﺒْﻞَ ﺧَﻤْﺴِﻤِﺎﺋَﺔٍ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻬِﺠْﺮَﺓِ، ﻭَﺍﻟْﺨَﻠَﻒُ ﻣَﻦْ ﺑَﻌْﺪَﻫَﺎ ( ﺭﻭﺿﺔ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ، ﺹ 51
Dalam konteks ini, slogan "Salaf al-Shalih" tersebut sengaja dimunculkan dalam "ruang dialog" sebagai "alat justifikasi pembenaran" dan sekaligus sebagai klaim otoritas. Slogan tersebut diwacanakan di ruang publik tatkala terjadi "perang wacana" antara komunitas Muslim yang pro-takwil dan komunitas Muslim yang anti-takwil, khususnya berkenaan dengan "pemahaman" ayat-ayat Quran yang secara tekstual terkait pembahasan "ayat-ayat Sifat."
Maksudnya, teks ayat-ayat Quran yang redaksional teksnya bernuansa antropomorfisme, yakni penggambarkan TUHAN secara "jism." Dalam konteks ini, maka muncullah semboyan utama, yakni "kini saatnya kita kembali pada pemahaman Salaf al-Shalih". Namun, fakta membuktikan ternyata para "Salaf al-Shalih" itu justru mentakwil ayat-ayat berkenaan dengan "ayat-ayat Sifat."
Berdasarkan pada definisi inklusif terkait batas akhir generasi salaf yang berakhir pada tahun 500 H. tersebut, maka saya menemukan berbagai fakta menarik terkait nalar takwil dalam kajian lintas teks kitab Tafsir dalam hal menjelaskan "ayat-ayat Sifat", sebagaimana yang termaktub dalam dokumen-dokumen klasik tersebut.
Nalar takwil yang terkait dengan Aqidah "salaf" ini ternyata sangat menakjubkan. Dalam konteks ini, saya hanya membahas penakwilan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) terkait frase وجاء ربك (wa ja'a Rabbuka) sebagaimana ayat yang termaktub dalam Qs. al-Fajr 89:22. Imam Ahmad bin Hanbal menjelaskan:
وجاء ربك اى جاء ثوابه
"Dan telah datang Tuhanmu yakni telah datang pahala-Nya."
Penjelasan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) ini merupakan metode takwil tafshili, sebab TUHAN bukanlah "jism" maka mustahil Dia datang secara "jism" kepada kita, dan hanya pahala-Nya saja yang datang kepada kita. Itulah sebuah kutipan "atsar" dari Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), yang dinukil oleh Imam al-Baihaqi (w. 458 H) dalam kitabnya "Manaqib al-Imam Ahmad."
Imam al-Baihaqi meriwayatkannya melalui jalur al-Imam Abu Abdullah al-Hakim (w. 405 H) dari Abu 'Amr, dari Ahmad bin Hanbal (w. 241 H). Setelah menyebutkan jalur periwayatannya secara lengkap, Imam al-Baihaqi (w. 458 H) kemudian mengomentari sanad dari "atsar" tersebut, dan beliau selanjutnya berkata:
هذا إسناد لا غبار فيه
"Sanad riwayat ini tidak memiliki cacat sedikit pun."
Berdasar pada aspek historis dan berdasar pada definisi inklusif terkait batas akhir generasi salaf yang berakhir pada tahun 500 H., maka Imam al-Baihaqi (w. 458 H), Imam al-Hakim (w. 405 H), dan Imam Ahmad bin Hanbal (241 H) ketiganya tergolong "generasi salaf." Penakwilan dengan menggunakan metode takwil tafshili ini merupakan sebuah "pemahaman kolektif" yang kemudian menjadi sebuah "ingatan kolektif" yang melintas batas generasi, terutama sejak era Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) hingga era Imam al-Baihaqi (w. 458 H).
Hal ini diperkuat dengan penjelasan dari kalangan generasi salaf awal abad ke-4 H., yakni al-Imam Abi Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Wahab al-Dainuriy (w. 308 H) dalam karya 'magnum opus-nya" yakni "Tafsir Ibnu Wahab. Lihat Ibnu Wahab al-Dainuriy, "Tafsir Ibnu Wahab al-Musamma al-Wadhih fi Tafsir al-Qur'an al-Karim" juz II (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), hlm. 497.
(وجاء ربك) ويجىء ربك وما وعد من الثواب والعقاب
Metode takwil tafshili ternyata juga diwariskan hingga era generasi khalaf, khususnya era akhir abad ke-8 H., misalnya Imam Ibnu Katsir (w. 774 H). Beliau dalam kitab tafsirnya faktanya juga menggunakan metode takwil tafshili, sebagaimana yang dapat kita telurusi terkait pembahas ayat Qs. al-Fajr 89:22. Lihat Ibnu Katsir, "Tafsir al-Qur'an al-Adzim" juz IV (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), hlm. 477
(وجاء ربك) يعني لفصل القضاء بين خلقه
Menariknya, ungkapan redaksional khas kebahasaan dari Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) dalam tafsirnya tersebut ternyata "sama persis" dengan ungkapan redaksional khas kebahasaan dari Imam Ibnu al-Qayyim al-Jawzi (w. 751 H). Namun bedanya, Imam Ibnu al-Qayyim al-Jawzi menggunakan ungkapan kebahasaan tersebut untuk memahami ayat Qs. az-Zumar 39:69. Imam Ibnu al-Qayyim al-Jawzi (w. 751 H) dan Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) keduanya adalah murid langsung dari Imam Ibnu Taymiyah (w. 728 H).
Ungkapan kebahasaan yang identik tersebut dapat dipastikan adanya "genealogi intelektual" yang meniscayakan adanya relasi tradisi keilmuan yang berasal dari sumber yang sama di antara keduanya. Lihat Imam Ibnu al-Qayyim al-Jawzi, "at-Tafsir Al-Qayyim" (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 375
(واشرقت الارض بنور ربها) فهذا اشراقها يوم القيامة بنوره تعالى، اذا جاء لفصل للقضاء،
Adakah seorang Muslim yang menolak pernyataan Imam Ibnu Katsir tsb? Adakah seorang Muslim yang meragukan metode takwil tafshili versi Imam Ibnu Katsir tersebut? Bila Anda tidak memahami pernyataan Imam Ibnu Katsir tersebut, maka sebaiknya Anda belajar kembali bahasa Arab.
from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2RESltqBagikan Berita Ini
0 Response to "Nalar Takwil Imam Ahmad Bin Hanbal"
Post a Comment