REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri BUMN Erick Thohir akan menerbitkan regulasi terkait pembentukan anak usaha perusahaan pelat merah. Langkah ini dilakukan Erick untuk menata, membenahi, dan meningkatkan kinerja BUMN. Pemerintah ingin pembentukan anak usaha BUMN tidak membuat perusahaan induk justru merugi.
Regulasi dalam bentuk peraturan menteri tersebut, kata Erick, bakal memberikan keleluasaan bagi pemerintah mengambil keputusan terhadap anak usaha BUMN, salah satunya menutup anak usaha yang dirasa merugikan. "Artinya, kita punya hak untuk menutup atau memutuskan merger. Semua tentu perlu ada alasannya," kata Erick dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (2/12).
Ini adalah rapat perdana Menteri BUMN Kabinet Indonesia Maju dengan Komisi VI DPR. Menteri BUMN periode sebelumnya, Rini Soewandi, nyaris tidak pernah hadir dalam rapat kerja di DPR. Rini selalu mengirimkan bawahannya atau deputi untuk mewakilinya setelah bersitegang dengan sejumlah anggota DPR.
Rapat kerja kemarin juga bersama dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang membahas soal penyertaan modal negara (PMN) di sejumlah BUMN strategis serta kinerja PMN tersebut. Dalam raker kemarin, Erick memaparkan, gemuknya jumlah perusahaan BUMN beserta anak dan cucu usahanya membuat mayoritas perusahaan BUMN tidak sehat. Ia tak menutup kemungkinan mengambil langkah penutupan terhadap BUMN atau anak usaha yang merugi.
Saat ini, pemerintah memiliki saham di 118 BUMN dengan keuntungan terbesar ditopang oleh hanya 15 BUMN saja. Jumlah anak usaha BUMN diperkirakan mencapai 800 perusahaan, tersebar di berbagai sektor yang bahkan terlepas dari inti usaha induknya.
Perihal banyaknya anak usaha BUMN ini pernah disinggung Presiden Joko Widodo dalam pidato di depan Kadin pada 2017. Saat itu, Presiden sudah meminta menteri BUMN untuk memangkas dan menggabungkan anak usaha BUMN. Menurut Presiden, ekspansi anak usaha BUMN sudah terlalu luas hingga menekan swasta. Presiden ingin BUMN terfokus dan bisa bekerja sama dengan swasta.
Meski begitu, pemerintah memastikan langkah evaluasi dan penataan BUMN tidak dilakukan dengan perhitungan sembarangan. Erick mengapresiasi BUMN dan anak usaha yang memberikan keuntungan bagi negara. "Bukan untuk mengerdilkan, tapi ini untuk menolong perusahaan yang tadinya sudah untung. Tapi, bukan berarti semua anak perusahaan itu sakit. Seperti Telkom dan Telkomsel, sangat sehat," ungkap Erick.
Ke depannya, perusahaan BUMN tidak akan lagi mudah membuat anak usaha atau cucu usaha dari perusahaan induk. Sebab, salah satu beban berat perusahaan BUMN adalah menanggung banyak anak cucu usaha yang tidak menghasilkan keuntungan. "Saya tidak mau juga perusahaan-perusahaan BUMN yang notabene masih sehat, ke depannya tergerogoti oknum," ujar Erick.
Ia menambahkan, perusahaan BUMN perlu menjelaskan secara terperinci kepada pemerintah alasan pembentukan anak atau cucu usaha. "Alasannya harus jelas. Jika enggak jelas, kita setop. Kita juga sedang berkoordinasi dengan kementerian yang lain."
Seusai mengikuti rapat kerja, saat berbincang dengan awak media, Erick juga menyoroti anak usaha BUMN yang lini usahanya tak sesuai dengan bisnis utama perusahaan induk. Salah satu contohnya, kata Erick, adalah PT Gapura Angkasa, salah satu anak usaha Garuda Indonesia yang bergerak di bidang ground handling atau jasa penunjang kebandarudaraan.
Erick menilai bisnis ground handling yang selama ini dikerjakan oleh Gapura bisa diakomodasi oleh Angkasa Pura (AP) sebagai perusahaan operator bandara. “Kemarin saya review Garuda. Gapura yang management handling itu enggak usah di Garuda, lebih baik di AP saja," kata dia.
Erick mengatakan, pekerjaan yang dikerjakan oleh Gapura sebenarnya adalah tugas Angkasa Pura. Akibat adanya lini bisnis serupa yang dimiliki Garuda, akhirnya terjadi overlapping di bandara. "Jadi kontraproduktif," ujar dia. Gapura merupakan perusahaan patungan yang didirikan pada 26 Januari 1998 oleh tiga BUMN, yaitu Garuda Indonesia, PT Angkasa Pura I (Persero), dan PT Angkasa Pura II (Persero).
Pendapatan BUMN
Erick Thohir mengatakan, BUMN saat ini mengantongi pendapatan sebesar Rp 210 triliun. Sebanyak 76 persen dari jumlah pendapatan itu berasal dari 15 perusahaan BUMN. Ke-15 BUMN tersebut bergerak di bidang perbankan, BUMN telekomunikasi, dan PT Pertamina (Persero).
Bagi dia, menilai posisi keuangan yang seperti ini perlu diantisipasi dan dicari jalan keluarnya. Sebab, tak selamanya 15 BUMN besar tersebut bisa terus menopang pendapatan BUMN, apalagi dengan tantangan dunia usaha ke depan yang semakin ketat. "Perbankan, misalnya, kita enggak tahu 10 tahun mendatang seperti apa. Apalagi dengan kemajuan teknologi dengan e-payment dan digitalisasi lainnya," ujar Erick.
Perlu ada strategi jangka menengah maupun jangka panjang untuk memperkuat fondasi keuangan perusahaan BUMN dan menyehatkan BUMN. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, tujuh perusahaan BUMN masih merugi pada 2018 meski menerima bantuan suntikan modal dalam bentuk penyertaan modal negara (PMN) sejak 2015. Mereka adalah PT Dok Kodja Bahari, PT Sang Hyang Seri, PT PAL, PT Dirgantara Indonesia, PT Pertani, Perum Bulog, dan PT Krakatau Steel.
Tiap BUMN memiliki faktor merugi yang berbeda-beda. Menteri Keuangan Sri Mulyani mencontohkan, Krakatau Steel mengalami kerugian karena adanya beban keuangan selama konstruksi. "Untuk PT DI, dikarenakan adanya pembatalan kontrak dan order yang tidak mencapai target," ujarnya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di gedung DPR, Jakarta, Senin (2/12).
Sementara, PT PAL mengalami rugi karena adanya peningkatan beban lain-lain hingga tiga kali lipat dari kerugian nilai tukar dan kerugian entitas asosiasi, yaitu PT GE Power Solution Indonesia. Kerugian juga dialami oleh Perum Bulog. Penyebabnya, terdapat kelebihan pengakuan pendapatan atas penyaluran beras sejahtera (rastra) sehingga Bulog harus melakukan pembebanan koreksi pendapatan pada tahun 2018.
PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani memiliki faktor penyebab merugi yang sama, yaitu inefisiensi bisnis, beban bunga, dan perubahan kebijakan pemerintah dalam mekanisme pengadaan benih. Terakhir, PT Dok Kodja Bahari merugi karena beban administrasi dan umum yang terlalu tinggi, yakni 58 persen dari pendapatan.
Jumlah BUMN penerima PMN yang merugi pada 2018 tersebut mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu tiga BUMN. Namun, apabila berkaca pada 2015 dan 2016 yang mencapai delapan BUMN, terjadi tren penurunan.
Sejak 2015, tren PMN terbilang dinamis. Sri menjelaskan, pada 2015, pemerintah menganggarkan Rp 65,6 triliun yang kemudian turun menjadi Rp 51,9 triliun pada 2016. "Nilai yang sangat signifikan ini dalam rangka mendukung dan mengakselerasi, terutama program strategis nasional," tutur Sri.
Dua tahun setelahnya, yaitu pada 2017 dan 2018, besaran PMN mengalami penurunan. Sri menuturkan, penurunan karena PMN difokuskan pada beberapa proyek strategis nasional, misalnya ke PT KAI sebagai lanjutan untuk menyelesaikan proyek LRT. n intan pratiwi.adinda pryanka, ed: satria kartika yudha
from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2DASN3MBagikan Berita Ini
0 Response to "Erick Benahi Anak Usaha BUMN"
Post a Comment