REPUBLIKA.CO.ID, Kerusuhan yang terjadi di ujung aksi menolak rasialisme di Wamena, Jayawijaya, sebulan lalu meninggalkan impak yang tak sederhana di wilayah Pegunungan Tengah, Papua. Bagaimana mulanya kejadian itu?
Apa dampaknya terhadap relasi sosiologis di wilayah itu? Bagaimana rekonsiliasi semestinya dilakukan? Wartawan Republika, Bambang Noroyono, menyambangi Sentani dan Jayawijaya untuk mencari tahu. Berikut tulisan bagian keduanya.
Siang itu, Jumat (11/10), cuaca di Wamena tergolong hangat. Tak ada mendung seperti hari sebelumnya. Republika sedang bersama seorang kawan di Papua ketika tiba-tiba datang seorang pemuda berusia sekitar 30 tahun dengan sepeda motor.
“Ko suda mati kah? Ko ke mana saja eh?” kata pemuda tersebut kepada kawan yang menemani saya. “Ko sa panggil-panggil tra dengar!” kata pria tersebut sambil tertawa-tawa.
Pemuda tersebut kemudian mengenalkan namanya, Fredy Wamo. Dia asli dari Yahukimo, tetapi sehari-hari tinggal di Wamena. Di Wamena dan sebagian besar Papua, saling sapa antarsahabat diselingi makian memang bisa mengagetkan mereka yang baru tiba dari jauh.
Ia sedianya menunjukkan keakraban warga setempat. Namun, hal itu menjadi sensitif belakangan, terutama selepas kejadian ucapan rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya yang kemudian memicu berbagai aksi unjuk rasa di seantero Papua dan Papua Barat, Agustus lalu.
Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Wamena Yosep Wibisono mengenang, ia tengah menghadiri arisan warga Yogyakarta menjelang akhir September lalu. Paguyuban daerah-daerah asal pendatang biasanya memang menjadi wadah silaturahim dan tempat saling tukar informasi sesama perantau di Bumi Cenderawasih.
Pada arisan warga Yogyakarta itu, kata Yosep, ada pesan yang beredar lewat aplikasi obrolan Whatsapp (WA) ramai dibicarakan. “Teman-teman, kawan-kawan kita di SMA PGRI dapat perlakuan rasial. Ada seorang ibu guru bilang kita monyet. Demikian informasi ini. Terima kasih,” begitu bunyi pesan WA yang beredar, kata Yosep saat ditemui di Wamena.
Pesan berantai tersebut menjadi obrolan serius di lingkungan para guru. Yosep, kemudian menghubungi Kepala Sekolah SMA PGRI Herry Max Kasiha memastikan kebenaran informasi WA berantai itu.
“Jadi, ibu guru itu minta si anak ini (muridnya) membaca. Nah, ibu guru itu bilang, ‘Kalau kau membaca, suaramu itu yang keras.’ Kata ‘keras’ itu yang dipelesetkan kemudian menjadi ‘kera’,” begitu cerita Herry seperti diungkapkan Yosep. Peristiwa itu terjadi pada Rabu (18/9).
Pada Sabtu, 21 September, persoalan sempat dianggap selesai. “Sudah jabat tangan,” kata Yosep. Sayangnya, penyelesaian di SMA PGRI, kata Yosep, ternyata tak memadamkan bara yang mulai berkobar.
Pada pagi hari Senin, 23 September, lima tamu yang mengaku sebagai mahasiswa menyambangi SMA PGRI. Lima mahasiswa itu agaknya bagian dari eksodus mahasiswa Papua di luar daerah selepas kasus ucapan rasial di Surabaya.
“Lima mahasiswa itu meminta penjelasan kepada kepala sekolah menyangkut hinaan itu,” kata Yosep. Di luar pagar sekolah, sudah banyak massa mengenakan seragam SMA maupun SMP.
Karena dianggap tak kondusif, kepala sekolah meminta pembicaraan dengan lima mahasiswa dilakukan di kepolisian. Belum lagi pembicaraan di kepolisian itu dilakukan, kerumunan massa sudah mulai melakukan perusakan.
Republika menyambangi SMA PGRI, Sabtu (12/10). Tak ada kegiatan belajar-mengajar. Gerbang besi dengan dua pintu bercat cokelat yang menjadi pintu masuk utama halaman sekolah, tampak digembok. Kondisi sekolah itu tampak baik. Meskipun terlihat dari luar sejumlah jendela ruang-ruang kelas tak lagi berkaca.
Ruben, seorang warga di lingkungan tersebut, mengatakan, pihak sekolah dan keamanan sudah membersihkan lokasi tersebut sebelum pejabat dari Jayapura dan Jakarta datang 7 Oktober lalu. “Dari sini (SMA PGRI) siswa-siswa keluar (ke jalan),” ujar Ruben.
Massa siswa SMA PGRI sebetulnya hendak ke Kantor Bupati Jayawijaya di Jalan Yos Sudarso. Dari Jalan Bhayangkara, jaraknya tak sampai 2 kilometer. Sebelum ke kantor bupati, mereka menyambangi satu per satu sekolah untuk meminta siswa sekolah lain juga masyarakat asli Papua ikut berunjuk rasa.
SMA Yapis menjadi salah satu tujuannya. Massa menyambangi sekolah yayasan Islam itu dengan mengajak para siswa ikut turun ke jalan. Tetapi, semua bergeming. Alhasil, sekolah yang berada di dekat kantor bupati itu diserang dengan lemparan batu, kayu, lalu dibakar. “Pagi-pagi mereka sudah ada ke sini,” kata seorang penjaga di SMA Yapis, Ahad (13/10).
Kata dia, ada satu siswa asli Papua di SMA Yapis yang menjadi sasaran massa karena menolak aksi turun ke jalan. Data resmi pemerintah mencatat, sekitar 22 kelas hangus dibakar di Yapis.
Selepas dari Yapis, massa menuju SMAN 1. Yosep, sang kepala sekolah menceritakan, para siswa pagi itu baru akan memulai penilaian tengah semester (PTS). “Itu pas guru-guru sedang bagi-bagi soal. Jam delapan kurang lima (menit),” kata dia.
Pukul 08.00 WIT, massa berbaju SMA sudah berkerumun di Jalan Sudirman yang bersimpangan di Jalan Irian Tengah. “Anak-anak di sini (SMAN 1) mengira mereka mau diserang. Mereka ini menyangka awalnya hanya tawuran bisa saja,” kata Yosep. Ia sudah menerka, kerumunan anak sekolah di jalanan pagi itu terkait tudingan insiden rasial yang terjadi di SMA PGRI.
Para guru mencoba menenangkan peserta didiknya dan meminta agar tak ada yang keluar kelas. Tetapi, lemparan dari arah luar memaksa siswanya berhamburan keluar kelas.
Ada batu sebesar kepalan orang dewasa masuk ke dalam kelas. Lemparan itu, kata Yosep, membuat siswa emosional. Banyak yang histeris, bahkan sampai kesurupan.
Siswa SMAN 1 asli Papua, kata Yosep, mencoba keluar kompleks sekolah untuk melawan mereka yang melempari batu. Belum sempat keluar, karena tak ada penjagaan, sebagian pagar luar SMAN 1 dijebol. Massa masuk ke halaman sekolah. SMAN 1 hanya menyisakan dua pintu kayu yang menjadi pertahanan akhir yang akhirnya juga berhasil dijebol.
Yosep mendengar beberapa teriakan sesama siswa Papua dari SMAN 1 dengan para penyerang. “Ayo sudah!” cerita Yosep. Ungkapan itu ajakan berkelahi. Akan tetapi, cerita Yosep, siswa penyerang sempat mengatakan, yang asli Papua tak akan diganggu. “Ko (sambil menyebut salah satu fam Papua) tra (tidak) apa-apa,” tutur Yosep mengutip ucapan penyerang.
Siswa-siswa asli Papua di SMAN 1 juga berusaha melindungi kawan-kawan satu sekolahnya. “Mereka tidak ada merusak, justru mereka melindungi siswa dan guru pendatang,” kata Yosep.
Perlawanan siswa asli Papua di SMAN 1 membuat demonstran dari luar hanya melakukan perusakan. Tak ada korban jiwa dalam penyerangan itu. Namun, beberapa siswa mengalami luka terkena lemparan. Sebagian terkena pukulan.
“Memang yang melakukan serangan itu rata-rata anak sekolah. Face-nya itu memang face anak-anak sekolah. Kita (guru) kan hafal kalau wajah-wajah anak sekolah,” ujar Yosep. Satu perusuh juga berhasil ditangkap siswa asli Papua di SMAN 1.
Para guru kemudian menyebarkan pesan kepada orang tua siswa agar menjemput anak-anak di sekolah. Sementara, di luar kompleks, massa dan kepolisian sudah memadati jalan. “Kabar-kabar tentang kebakaran dan kerusuhan sudah ada di mana-mana,” terang Yosep.
Ia bersama 52 guru di SMAN 1 kebingungan antara menyelamatkan diri untuk pulang menyelamatkan keluarga atau bertahan di sekolah demi memastikan keamanan para siswa. “Sampai jam tiga (sore) kita baru pastikan sekolah kosong,” ujar dia.
Jasri adalah salah satu orang tua yang menjemput putrinya, seorang siswi kelas X di SMAN 1. Pria asal Makassar itu sudah 25 tahun di Wamena menjalankan usaha berjualan sembako. Di rumah, istrinya, Mai Zarni, ketakutan. “Anak saya sudah nangis-nangis di telepon minta dijemput,” kata Jasri.
Jasri tinggal di Jalan Yos Sudarso. Dari rumah kiosnya, ia memberanikan diri mengendarai motor ke SMAN 1. “Saya juga terpaksa bawa ini (parang) toh,” kata Jasri. Saat itu, kata dia, sudah beredar kabar tentang warga asli yang melempari toko-toko milik warga non-Papua.
Tiba di SMAN 1, putrinya sudah sesenggukan. “Anak saya itu kena lempar batu di sini (kepala),” ujar Jasri sambil meraba kepala bagian belakang. “Trauma anak saya itu, Bapak. Kasihan saya,” ujar dia.
Pulang dari SMA 1 menuju Jalan Yos Sudarso, kata Jasri, ia melihat massa demonstran yang tak lagi cuma para pelajar. “Tidak ada anak-anak sekolah yang ininya (cambangnya) panjang-panjang,” ujar Jasri.
Bersama keluarga, Jasri kemudian menuju Makodim 1702 yang sudah dipenuhi pengungsi. “Istri saya orang Padang, jadi saya biarkan dia pulang (ke Padang) sama anak saya,” kata Jasri. Putrinya juga meminta pindah sekolah.
Kerusuhan 23 September menjadi catatan paling kelam tentang situasi sosial di Wamena dalam 20 tahun terakhir. Sedikitnya 33 warga meninggal. Warga asli yang meninggal kebanyakan ditemukan meninggal dengan luka tembak. Para pendatang banyak yang meninggal dengan luka bakar dan luka bacok. Ratusan bangunan ludes, belasan ribu orang mengungsi.
Saat Presiden Joko Widodo tiba di Wamena, Senin (28/10), bekas kerusuhan itu masih tampak jelas. Sisa-sisa kebakaran di Kantor Bupati Jayawijaya yang hampir seluruhnya terbakar masih tampak jelas.
Puing-puing bangunan, lemari arsip, dan perlengkapan perkantoran lainnya yang turut terbakar masih dibiarkan di dalam gedung. Pecahan kaca dan atap gedung masih terlihat berserakan. Bangkai kendaraan dinas milik pemerintah daerah setempat yang seluruhnya dibakar masih dibiarkan berada di tempat parkir.
Kejadian seperti pada 23 September itu sedianya sempat terjadi pada 2000. Kejadian dua dekade lalu itu dipicu meninggalnya tujuh warga asli Papua dalam operasi militer.
Selepas kejadian itu, ada kejadian lanjutan yang memakan korban nyawa 24 warga pendatang dan memaksa lima ribuan warga pendatang eksodus. Apakah memang ada sekam di Wamena yang siap terbakar kapan saja? n dessy suciati saputri ed: fitriyan zamzami
from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2Ju4EE4Bagikan Berita Ini
0 Response to "Pesan Whatsapp yang Jadi Nyala Api"
Post a Comment