REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membantah akan mencabut jatah bantuan pendidikan Kartu Jakarta Pintar (KJP) bagi siswa atau pelajar yang terlibat aksi kriminal saat aksi demonstrasi pada 25-30 September 2019 lalu.
Anies menegaskan, siswa itu menerima KJP karena kondisi sosial ekonomi keluarganya lemah, sehingga dia dapat bantuan dari pemerintah agar bisa sekolah. Pemerintah pun memiliki tanggung jawab memastikan setiap anak usia sekolah mendapatkan pendidikan hingga tuntas.
Karena itu, kata Anies, pemerintah tidak mengeluarkan anak dari proses pendidikan serta pemerintah itu tidak mungkin memberhentikan anak dari sekolah. Karena anak-anak dapat bersekolah itu tanggung jawab pemerintah dan kalau ada anak yang bermasalah, justru harus dididik lebih banyak.
"Bukan malah diberhentikan dari pendidikan. Itu konsepnya salah kalau anak bermasalah dikeluarkan dari penerima KJP. Kalau begitu, siapa yang mendidik nanti. Karena itu, kalau ada anak bermasalah justru harus kita didik lebih baik lagi, begitu juga yang harus diterapkan pada anak penerima KJP," kata Anies kepada wartawan di Kantor Wali Kota Jakarta Barat, Rabu (2/10).
Gubernur menjelaskan, anak penerima KJP ini sulit sekolah karena tidak ada biaya. Kalau kemudian tanggung jawab pemerintah harus menyekolahkan, terus kemudian KJP mereka dicabut, lantas mereka mau sekolah dari mana. Karena itu, Anies melihat, pencabutan KJP itu justru langkah yang tidak sejalan dengan tujuan pemerintah untuk mendidik semua anak bangsa.
"Jadi, anak yang bermasalah yang kemarin terlibat kerusuhan saat demonstrasi perlu pembinaan, ya kita bina. Tapi, jangan sampai justru putus sekolah kerena KJP dicabut. Tujuan awalnya malah tidak tercapai. Jadi, saya tidak pernah menggariskan penghapusan KJP untuk anak bermasalah tersebut," ujar dia.
Plt Wakil Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Syaefulloh Hidayat menambahkan, bila ada siswa bermasalah secara hukum, yang harus dilakukan adalah pembinaan lebih jauh. Orang tua dipanggil, anaknya dipanggil, dibina diajak diskusi. Jadi, mereka dididik lebih jauh, bukan malah diberhentikan.
Kalau kemudian dikhawatirkan cara ini tidak ada efek jera. Syaefulloh menekankan asas praduga tak bersalah kepada para siswa. Kalaupun ada tindakan kriminal, itu ada aturan hukumnya. Karena menyangkut urusan pidana, ia berharap, proses pendampingan di Polda Metro Jaya saat ini dapat membantu mereka.
Sebagai Kepala Dinas yang baru, Syaefulloh menegaskan, akan tetap berupaya agar anak didik di sekolah menengah tetap mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Untuk itu, absensi pagi dan sore hari akan digencarkan.
Terkait dengan dampak aksi demonstrasi, saat ini, pihaknya telah berkomunikasi cukup intens dengan Polda terkait pelajar yang saat ini masih diproses di Polda Metro Jaya.
"Yang pasti, kita ingin anak-anak bisa terus bersekolah. Kita sudah dampingi dari Kepala Seksi Kesiswaan bidang SMK dan SMA mendampingi para pelajar yang masih diproses di Polda Metro Jaya," kata Syaefulloh.
Terkait jumlah pelajar yang masih berada di Polda Metro Jaya, Syaefulloh menyebut, pihaknya masih menunggu update informasi dari pihak Polda Metro Jaya terkait penanganan ketertiban saat aksi demonstrasi kemarin. Tetapi, ia memastikan, siswa akan tetap mendapat pendampingan dari Pemprov DKI Jakarta dan berkomunikasi dengan pihak kepolisian.
Saat ini, Dinas Pendidikan Pemprov DKI Jakarta juga telah menginstruksikan kepada seluruh kepala sekolah STM/SMK dan SMA di seluruh Jakarta untuk melakukan absensi secara ulang siswa yang sampai saat ini masih belum hadir dalam proses belajar mengajar untuk segera dilaporkan dan berkomunikasi dengan Suku Dinas Pendidikan setempat untuk ditindaklanjuti.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Ratiyono akan mencabut hak penerimaan program bantuan pendidikan KJP bagi pelajar yang mengikuti demonstrasi di sekitar Gedung DPR dan terbukti melakukan tindakan kriminal. Ratiyono memastikan, pihaknya tidak akan memberhentikan KJP begitu saja, tapi mempertimbangkan sisi ekonomi keluarga pelajar tersebut.
"Kalau dihentikan, sudah miskin, ya ikut-ikutan rusak masa depannya. Tapi, tetap diingatkan, 'kamu sudah miskin, jangan ikut-ikutan,’" kata Ratiyono.
Saat ini, kata Ratiyono, Pemprov DKI selalu memeriksa data para pelajar yang turut tertangkap saat demo dan selalu berkomunikasi dengan Polda Metro Jaya agar lebih mudah melakukan tindak lanjut terhadap pelajar tersebut.
"Setelah setiap kejadian ketika ada informasi, ada yang di Polda, pasti kami utus pejabat kami yang merapat ke Ditkrimum minta data, nanti kita cek dari SMA atau SMK mana," tuturnya.
Salah satu siswa SMK di Jakarta Pusat, Doni, menanggapi ancaman Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tarik KJP. Hal tersebut tidak menyurutkan keinginan mereka untuk menuntut perubahan Undang-Undang (UU) yang kontroversial.
“Sebenarnya kan kita demo untuk kebaikan kita bersama ya, biar enggak ada yang ngaco di undang-undangnya. Kalau adanya tindak kriminal yang kebanyakan anak STM sendiri ya kalau bisa jangan ancam KJP (dicabut), kalau kita enggak sekolah demo lagi nih,” kata Doni.
Siswa SMK lainnya, Ridwan, mengatakan, ia melakukan aksi unjuk rasa dengan hati ikhlas dan juga mewakili suara masyarakat. “Enggak apa-apa kalau mau dicabut sama Pemprov. Kita sudah wakilin masyarakat seluruh Indonesia yang enggak bisa menyampaikan aspirasi. Toh enggak apa-apa korbanin KJP ini buat negara, biar enggak bobrok,” kata Ridwan.
from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2pvVEapBagikan Berita Ini
0 Response to "'Enggak Apa Apa Korbankan KJP, Asal Negara tak Bobrok'"
Post a Comment