REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membeberkan kronologi kerusuhan yang pecah di Wamena, Papua, pada Senin (23/9) lalu. Meski berlatar kesalahpahaman, Komnas HAM mendeteksi ada juga kelompok penyusup yang memperkeruh keadaan.
Menurut Komnas HAM, kejadian bermula saat guru pengganti perempuan berinisal RP meminta salah satu muridnya membaca dengan “keras”. "Sebetulnya, menurut Riris, dia tidak pernah bilang kata 'kera', dia bilang murid baca dengan keras karena murid ini tidak membaca dengan jelas. Itu pada hari Selasa (17/9)," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik di Jakarta, Senin (30/9).
Dia melanjutkan, hingga Jumat (20/9), semua berjalan dengan normal. Baru, dia mengatakan, pada Sabtu (21/9) ada ribut-ribut di mana sejumlah murid marah-marah karena disebut guru sebagai kera.
Kejadian tersebut langsung diklarifikasi dan semua pihak sudah saling memaafkan, bahkan sudah bernyanyi bersama menyusul ada salah satu murid yang berulang tahun. Menurut Damanik, RP tidak menyadari akan ada konflik lanjutan dari peristiwa tersebut.
Damanik meneruskan, selanjutnya pada Ahad (22/9) ada penyerangan ke sekolah. Dan, pada Senin (23/9), sudah ada perusakan di sekolah hingga kepala sekolah melarang RP datang ke tempat dia mengajar.
Tak lama berselang, Damanik melanjutkan, datang segerombolan siswa yang marah-marah disertai gerombolan lainnya. Dia mengatakan, berdasarkan keterangan warga sekitar, mereka juga tidak mengenali gerombolan massa lainnya yang ikut datang ke sekolah tersebut. "Ini yang harus diinvestigasi adanya massa lainnya yang demo. Massa itu nggak jelas karena banyak masya yang bilang nggak jelas dengan massa yang datang berdemo," katanya.
Damanik mengungkapkan, kronologi tersebut didapatkan dari kepala perwakilan Komnas HAM di Papua, Prince. Melihat hal itu, dia berpendapat jika kerusuhan yang terjadi di Wamena dilakukan secara sistematis oleh massa yang kemudian berujung pada kekerasan.
Komnas HAM mencatat, korban tewas akibat peristiwa itu mencapai 31 orang. Angka itu belum ditambah 43 korban luka yang butuh penanganan segera di rumah sakit. Mereka mengalami cedera serius mulai dari gegar otak, patah kaki, dan lain-lain.
Damanik menekankan, sangat penting untuk diungkap dari siapa pelaku hingga motifnya untuk menghindari peristiwa yang berulang. "Ini tidak bisa kita biarkan, yang bisa kita kategorikan tragedi kemanusiaan, dan kalau tidak dilakukan proses penegakan hukum, kita sangat khawatir akan terulang peristiwa yang sama," ujar Damanik.
Sebab, kata dia, ketegangan tak hanya terjadi di Wamena, tetapi hampir di seluruh wilayah Papua. Akibat kerusuhan, orang-orang yang ada di Papua menjadi saling tidak percaya, dihinggapi rasa kekhawatiran dan ketakutan, bahkan hidup dalam suasana yang tidak nyaman.
Ia mengimbau seluruh pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, tokoh adat Papua, maupun tokoh agama untuk melakukan dialog konstruktif dalam rangka mencari langkah-langkah perdamaian. Bagi Komnas HAM, dialog merupakan solusi terbaik. Jika hal itu tidak segera diselesaikan, bisa memicu tragedi yang lebih besar.
"Tentu saja, bisa memicu ketegangan lebih luas di berbagai tempat, termasuk di Jakarta, termasuk juga respons internasional kepada kita sebagai bangsa," kata Taufan menjelaskan.
Sementara, pemerintah menyebut sudah ada 33 korban meninggal akibat peristiwa kerusuhan di Wamena. Presiden Joko Widodo juga telah menyampaikan belasungkawa kepada para korban tersebut. Pada saat yang bersamaan, Jokowi mengatakan, kerusuhan di Wamena itu bukan kerusuhan antaretnis. Dia menjelaskan, kerusuhan dan perusakan rumah-rumah warga dilakukan oleh kelompok kriminal bersenjata.
Sejumlah warga Wamena yang ditanyai Republika menyatakan, kerusuhan memang terlihat seperti diorganisasikan. “Jadi, tiba-tiba massa datang dan membakar-bakar. Seperti sudah direncanakan,” kata Pardjono, seorang pegawai negeri di Wamena.
from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2ndR2ooBagikan Berita Ini
0 Response to "Komnas HAM: Ada Gerombolan Penyusup di Wamena"
Post a Comment