REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman menuturkan, kondisi defisit neraca dagang yang menyentuh 2,5 miliar dolar AS disebabkan faktor internal dan eksternal. Sementara faktor eksternal masih terkait perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan Cina, faktor internalnya adalah dominasi komoditas mentah sebagai komoditas utama ekspor Indonesia.
Ilman menjelaskan, ketergantungan ekspor Indonesia terhadap komoditas ekspor membuat perekonomian dalam negeri rentan dengan perubahan harga. "Oleh karena itu, pemerintah dan dunia industri tidak dapat terus mengandalkannya," ujarnya melalui siaran pers, Jumat (17/5).
Selain itu, Ilman menambahkan, ketegangan tensi perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina juga menjadi sentimen negatif dalam perdagangan internasional. Semua negara yang bermitra dengan AS dan Cina, termasuk Indonesia, pasti terdampak dari adanya eskalasi perang dagang beberapa waktu terakhir ini.
Ilman menyebutkan, solusi dalam jangka pendek yang paling efektif dan selalu digulirkan adalah dengan mengendalikan impor. Hal ini sebenarnya lumrah dilakukan karena untuk mendorong peningkatan nilai ekspor. Selain itu, perlu proses transformasi di sektor industri yang cukup memakan waktu. "Ini harus disertai juga dengan perubahan berbagai macam regulasi yang memberikan insentif pada para pengusaha untuk meningkatkan nilai jual produknya," tuturnya.
Tapi, Indonesia juga harus berhati-hati dalam mengendalikan impor. Sebab, impor saat ini masih didominasi oleh bahan baku dan barang modal yang notabene dibutuhkan untuk proses produksi dalam negeri.
Beberapa waktu yang lalu, pemerintah menggulirkan aturan tarif impor untuk berbagai macam barang konsumsi. Ilman menyebutkan, jenis impor barang konsumsi ini sebenarnya relatif kecil apabila dibandingkan dengan impor bahan baku dan impor barang modal. “Namun, tentunya, mengendalikan dua jenis impor lain dapat berpengaruh terhadap kinerja sektor industri dan manufaktur nasional,” katanya.
Pada akhirnya, Ilman menjelaskan, meski pengendalian impor bersifat solusi jangka pendek, hal ini tidak bisa selama-lamanya digunakan untuk mengatasi defisit neraca perdagangan. Pemerintah butuh pendekatan yang lebih struktural. Misalnya, perubahan regulasi yang sifatnya meningkatkan daya saing industri dalam negeri untuk bisa meningkatkan nilai jual barang ekpsornya.
Defisit neraca dagang Indonesia pada April 2019 lebih besar dibanding dengan defisit pada periode yang sama di tahun lalu, yakni 1,63 miliar dolar AS. Dikutip dari Trading Economics, nilai defisit tersebut merupakan 'terdalam’ sepanjang catatan statistik yang ada.
Pada 1960 hingga 2019, rata-rata nilai neraca dagang di Indonesia adalah 738 juta dolar AS. Surplus tertinggi diraih pada Desember 2006 dengan nilai 4,64 miliar dolar AS. Sedangkan, sebelumnya, rekor defisit terdalam terjadi pada Juli 2013 dengan nilai 2,32 miliar dolar AS sebelum akhirnya ‘dikalahkan’ oleh defisit April 2019.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, defisit neraca dagang pada April 2019 berasal dari defisit neraca dagang migas 1,49 miliar dolar AS nonmigas 1,0 miliar dolar AS. Defisit ini menjadi defisit pertama sejak Januari, di mana ekspor menurun 13,1 persen secara year-on-year, sementara penurunan impor lebih lambat, 6,58 persen.
from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2w0yHfqBagikan Berita Ini
0 Response to "Pengendalian Impor Bukan Solusi Atasi Defisit Neraca Dagang"
Post a Comment