Search

Sulteng Dipacu Jadi Buffer Zone Cabai

Indonesia sudah tidak melakukan impor cabai lagi sejak 2016.

REPUBLIKA.CO.ID, DONGGALA -- Kementerian Pertanian (Kementan) gencar melakukan pemerataan pengembangan kawasan cabai di seluruh wilayah Indonesia. Bahkan, Menteri Pertanian Amran Sulaiman menargetkan seluruh wilayah pulau utama di Indonesia harus mandiri cabai.

“Jangan lagi tergantung pasokan dari Jawa semua. Luar Jawa harus bisa mandiri cabai. Pasokan harus aman, harga juga harus stabil,” ujar Amran dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Ahad (28/4).

Menurut Mentan, potensi luar Jawa masih banyak dan harus bisa dioptimalkan. Selama ini, optimalisasi lahan-lahan potensial untuk budi daya cabai terus dilakukan. Buktinya, sudah dua kali ramadhan dan Lebaran terakhir harga dan pasokan cabai nasional stabil. Harga dan pasokan cabai pada Idul Adha, Natal, dan tahun baru pun terpantau aman.

“Ini bukti kalau pengembangan kawasan cukup berhasil. Apalagi, sejak 2016 tidak ada impor cabai lagi. Luar Jawa harus terus dipacu supaya inflasi di daerah bisa dikendalikan,” ujar Menteri berdarah Sulawesi ini.

Kepala Dinas Pertanian Propinsi Sulawesi Tengah Trie Iriyani menegaskan kesiapannya menjadikan wilayah Sulteng sebagai penyangga atau buffer zone produksi cabai di Indonesia Timur. Saat ini, daerah Donggala, Banggai, Sigi, Parigi Moutong, dan Tojo Una Una merupakan sentra cabai di Sulawesi Tengah.

Menurut Trie, Sulteng terus memperluas pengembangan kawasan pertanian cabai. Dalam setahun, ada sekitar 5 ribu hektare tanaman aneka cabai di Sulteng dengan produksi mencapai 33.500 ton. Angka itu terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

“Kebutuhan kami hanya sekitar 18.500 ton saja dalam setahun. Jadi, ada surplus yang signifikan, bisa memasok wilayah sekitar. Tahun 2019 ini kami didukung oleh Kementerian Pertanian pengembangan kawasan cabai seluas 375 hektare. Bantuan tersebut sangat membantu,” kata Trie.

Kepala Bidang Hortikultura Dinas Pertanian Kabupaten Donggala Nona Meythy menyatakan kesiapan mewujudkan Donggala menjadi bagian dari kawasan penyangga (buffer zone) cabai Sulteng. Donggala, kata dia, mempunyai potensi sekitar 1.200 hektare pertanaman cabai selama musim tanam setahun. Saat ini, riil sudah di atas 900 hektare.

“Kami punya jenis cabai rawit lokal yang sudah terkenal, rawit sirup namanya. Sangat pedas dan tahan simpan. Rawit sirup ini sudah dipasarkan sampai Gorontalo, Makassar, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara. Pertanaman ada terus bahkan umur produksinya bisa setahun lebih,” kata dia.

Menurut data Kementan, produksi nasional cabai pada 2018 mencapai 2,52 juta ton lebih yang meliputi jenis rawit merah, rawit hijau, cabai keriting, dan cabai merah besar. Angka tersebut meningkat dibanding tahun sebelumnya 2,36 juta ton. Kebutuhan nasional cabai diperkirakan 1,6 juta hingga 1,8 juta ton setahun.

Direktur Sayuran dan Tanaman Obat pada Direktorat Jenderal Hortikultura Kementan Ismail Wahab mengingatkan pentingnya pengaturan pola tanam guna mempertahankan surplus produksi.

“Tidak hanya surplus produksi dalam setahun, tapi sebaran produksi antarbulan dan antarwilayah sudah kita atur sedemikian rupa melalui manajemen pola tanam. Jadi, tidak ada lagi bulan yang produksinya berlebih atau ada bulan yang kekurangan produksi cabai,” kata Ismail.

Guna memenuhi kebutuhan cabai di berbagai pulau, pemerintah terus berupaya melakukan terobosan, di antaranya pengembangan cabai di luar Jawa dan perbaikan distribusi antarpulau. Khusus menghadapi puasa dan Lebaran tahun ini, Kementan telah memastikan pasokan cabai mencukupi. Sebab, beberapa sentra besar memasuki panen raya di Mei dan Juni 2019.

Let's block ads! (Why?)

from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2GQkY0Y

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Sulteng Dipacu Jadi Buffer Zone Cabai"

Post a Comment

Powered by Blogger.