REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Haedar Nashir
Penjara adalah sebuah tragedi. Hatta bagi seorang Buya Hamka. Dua tahun ulama bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah itu dibui tanpa proses pengadilan yang sah. Dakwaannya pun mengerikan, dituduh hendak membunuh Presiden Soekarno dan Menteri Agama Syaifuddin Zuhri. Suatu tudingan dan vonis yang jauh dari sifat ulama santun kelahiran Maninjau itu.
Hamka harus menerima derita penjara akibat politik penguasa yang marah dan terlibat perebutan hegemoni tahta dalam sejarah Indonesia pascakemerdekaan. Hamka, juga HB Jasien, adalah korban pertarungan politik ideologis yang keras dalam perjalanan bangsa ini. Suatu krisis dan pergolakan politik yang panjang sejak pertengahan 1950-an sampai tahun 1965, yang diwarnai sejumlah pemberontakan dan perseteruan politik yang memakan korban anak-anak bangsa yang tak bersalah.
Tapi Hamka justru memberi mutiara berharga. Penjara dengan proses politik yang nista tidak membuat dirinya jatuh pada sikap kerdil dendam kesumat. Dia maafkan Soekarno dengan jiwa ikhlas. Bahkan, di tengah sebagian umat yang sorot pandangnya sempat nyinyir, Hamka justru mengimami shalat jenazah tatkala Presiden Indonesia itu wafat tahun 1971. Hamka pulalah yang tak bersetuju pemerintahan Soeharto melarang buku-buku Pramoedya Ananta Toer pascatragedi G.30/S/PKI 1965, meski tokoh Lekra itu menjadi salah satu aktor yang menggiringnya ke penjara.
Politik kekuasaan sering melahirkan tragedi kelam. Bahkan Soekarno sang Proklamator itupun harus bernasib serupa di ujung hayatnya. Ia hidup terisolasi di Wisma Yaso untuk mengakhiri kisah perjuangannya yang panjang di negeri yang ikut ia dirikan. Lagi-lagi politik yang mengabdi pada hasrat kuasa semata memakan anak kandungnya sendiri tanpa rasa iba. Hidup dipergilirkan Tuhan bak roda pedati (QS Ali Imran: 140-141), di tengah banyak anak negeri tak pandai mengambil hikmah penuh arti. Lalu, para pemburu tahta di setiap zaman bergantian mengulangnya kembali, seolah sejarah bangsa lewat begitu saja tanpa sukma sarat makna!
Teladan Permaafan
Hamka nama akronim dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Dikenal pula Buya Hamka yang ternama hingga ke negeri Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand, dan dunia Islam mancanegara. Dialah sosok ulama, pemikir, sastrawan, dan tokoh besar yang lahir dari rahim Muhammadiyah, umat Islam, dan bangsa Indonesia. Karya keilmuannya tidak kurang dari 120 buku. Ketokohan, pemikiran, dan khazanah dirinya sungguh melampaui zamannya. Figur ini tampil tidak dalam sosok perkasa yang ditakuti orang, tetapi menjelma untuk dihormati dan dijadikan teladan.
Buya Hamka dikenal sebagai figur alim nan rendah hati. Sosok ini meski berilmu tinggi tetapi tidak angkuh diri. Ia ulama dan tokoh Islam yang teduh-meneduhkan, bukan figur garang dan menghujat orang. Ilmunya luas dan perangainya dihiasi budi luhur. Dia ajarkan umat tentang falsafah hidup yang utama. Kecintaannya pada tasawuf, sastra, dan kebaikan hidup menjadi bagian dari kecendekiaanya yang halus nan cerdas. Bagaimana mungkin sosok penyebar hikmah itu menebar ancaman pembunuhan yang menggirinya ke jeruji besi. Suatu dakwaah politik yang paradoks, tetapi sungguh terjadi.
Kenapa politik begitu ganas memakan korban tak bersalah? Konflik ideologi yang tajam di akhir tahun 1950an dan awal 1960an menyeret perseteruan dan pertengangan antar elite dan kekuatan bangsa ke puncak tragedi politik yang kacau dan sarat kegetiran. Dunia sastra dan kesenian pun diseret pada konflik politik yang ganas sebagaimana Pramudya Ananta Toer dengan Lekra-nya menghabisi para budayawan lain yang tak sehaluan. Setiap kelompok membawa ambisi pertarungan politik primordial dan saling berhadapan layaknya lawan di medan perang, satu sama lain tidak ingin jatuh dan lawannya menang. Segala idiom politik berbasis agama dan ideologi dipoles tajam dan penuh kegentingan, sehingga saling menerkam. Kursi kekuasaan pun menjadi alat pertaruhan untuk menjadi lahan perebutan hegemoni, sekligus menampilkan kesewenang-wenangan.
Namun seorang Hamka justru keluar dari arena politik garang dan dendam. Budayawan Taufik Ismail bercerita. Pada awal Ord Baru, di suatu forum ketika Buya Hamka ditanya tentang larangan buku Pramoedya oleh pemerintah Orde Baru. Hamka justru tidak bersetuju. Semua hadirin tercengang dan terdiam senyap. Jika tidak sepaham dengan buku Pramudya tidaklah dilarang, ujar Hamka, tapi tandingi dengan buku yang lain. “Saya memafkan dia”, ujar penulis buku Tasawuf Modern itu. Taufik Ismail dan kawan-kawan pun terdiam bisu. “Yang terpancar dari Buya Hamka ialah jiwa ikhlas”, tutur Taufik. Ikhlas yang diamalkan dalam tindakan, bukan menjadi norma keagamaan yang indah di lisan dan tulisan namun kering dalam kenyataan.
Hamka memberikan teladan tentang permaafan yang tulus. Apa kata Hamka, “Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Alquran 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan pekerjaan itu…”. Suatu ungkapan jiwa yang bersih dan mulia, di tengah kelaziman para perawat marah dan dendam politik tak berkesudahan.
Buya Hamka memberi pelajaran luhur tentang akhlak permaafan yang terjauhkan api dendam. Seperti Nelson Mandela berbuat sama menghadapi kekejaman politik rasial di Afrika Selatan, ia memaafkan meski tidak melupakan. Hamka mempraktikkan tasawuf ihsan, suatu kebajikan yang melampaui orang biasa. Akhlak tentang sikap adil, damai, pemaaf, dan tidak dendam kesumat di arena politik yang terjal dan penuh bara. Pekerjaan akal budi yang utama seperti itu tidak dilakukan sembarang orang, tetapi lahir dari ruhani Islami yang terlatih dalam perjuangan hidup yang panjang.
Sungguh tak mudah berpolitik penuh hikmah dan nirpermusuhan beraura dendam. Dalam bukunya Lembaga Hidup (2015), Hamka memberikan kesaksian: “Memang sulit mengubah seorang musuh menjadi kawan, kemudian menjadi sahabat, memadamkan kemarahan hati dan mengubah muka marah dengan senyum, memberi maaf kesalahan sehingga udara yang tadinya mendung menjadi terang benderang. Memang susah melakukan itu. Itu hanyalah pekerjaan orang yang hatinya memang hati waja, budinya budi emas; yaitu orang yang mempunyai kemauan besar dan cita-cita yang mulia. Memang susah! Tetapi menempuh kesusahan itulah yang harus kita coba, untuk kemuliaan jiwa kita sendiri.”.
Politik Hikmah
Hamka mengajarkan politik nilai. Politik ditegakkan atas iman, akal budi, dan akhlak mulia. Dengan politik nilai maka urusan politik tidaklah tercela, bahkan menjadi jalan mulia untuk membangun peradaban bersama. Politik, tulis Hamka dalam Falsafah Hidup, tidak mengurus kepentingan diri, tetapi mengutamakan kepentingan bersama. Dalam berbangsa, politk Indonesia juga memerlukan filosofi keindonesiaan, sehingga menimbulkan kegembiraan, kemuliaan, dan kemajuan. Inilah politik mengikuti teladan Rasulullah, tutur Hamka, bukan politik ala Machiavelli.
Budayawan penulis novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wich itu memberi petuah kepada para politisi agar kembalai ke pangkalan semula sebagai manusia. Dia menulis, “Kita ini manusia belaka. Manusia duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Tidak perlu memperebutkan rezeki, membuncitkan perut suatu bangsa dengan merugikan bangsa yang lain, karena kalau pandai membaginya, persediaan pangan buat hidup masih cukup tersedia dalam perut bumi. Teori Darwin yang mengatakan bahwa beratus-ratus ribu tahun yang telah lalu berjenis-jenis binatang penghuni dunia telah musnah karena perebutan hidup, peraduan tenaga, sehingga yang lemah jatuh tersungkur dan yang kuat berhak terus hidup. Tidak perlu diteruskan oleh umat manusia.”
Hamka menekankan pentingnya saling berbagi dalam hidup yang berada dalam satu planet ini dan jangan rakus. Padahal politik sering disebutkan sebagai seni memeperebutkan kepentingan. Perebutan kepentingan itu jangan dibiarkan mengikuti logika Darwin maupun Machiavelli, tetapi niscaya dibingkai moral atau ruhani sebagai sesama anak manusia yang hidup saling berbangsa-bangsa namun satu jiwa untuk hidup bersama seperti diaharkan Allah dalam Alquran Surat Al-Hujarat 13. Perebutan kepentingan dalam politik jangan seperti srigala yang saling memangsa.
Selanjutnya Hamka dalam Ensiklopedia Buya Hamka (2019) memberi pesan moral kepada para aktivis dan pemimpin politik serta segenap anak bangsa. “Setiap orang diberikan kebebasan mendirikan partai politik, sehingga tiap-tiap orang yang bercita-cita nerasa patut memasuki salah satu partai politik atau mendirikannya. Setelah ditimbanginya, lalu dipertahankannya asas partai itu. Tetapi dalam praktik, banyak partai kerap kali menimbulkan banyak persengketaan. Kadang-kadang penumpahan darah. Orang berbuat bermacam-macam perbuatan kejam atas nama partai. Partai harus memounyai disiplin.” tulis Hamka.
Hamka tidak hanya menulis, tetapi menjalankan ajaran kemuliaan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Itulah politik hikmah, yang mengajarkan dan mempraktikkan sifat-sifat mulia. Ketika di negeri ini masih dijumpai pola pikir, ujaran, dan tindakan para elite dan warga bangsa yang kerdil serta membawa aura marah dan dendam dalam berpolitik. Tatkala politik semata mengejar tahta, bila perlu dengan menghalalkan segala cara seperti fitnah dan segala produksi dusta. Manakala kontestasi politik disertai luapan marah, kebencian, hoax, dan permusuhan sesama anak bangsa. Bahkan, bilamana sejumlah pihak saling menebar ancaman dan menabur suasana kegentingan yang menjadikan kontestasi politik lima tahunan beraroma perang Baratayudha. Sungguh bijaksana kita belajar politik hikmah kepada Hamka, berpolitik adiluhung tanpa amarah dan dendam membara.
Pesan moral dan sikap politik Buya Hamka yang berfondasikan falsafah nilai utama dapat menjadi rujukan berharga bagi elite dan warga bangsa. Lebih utama bagi tokoh dan jamaah umat yang membawa atasnama politik Islam. Hampir satu tahun bangsa Indonesia terlibat dalam hiruk pikuk dan pembelahan politik 2019 yang membara. Satu sama lain saling berhadapan dengan tingkat ketegangan tinggi layaknya pertandingan El Clasico antara Real Madrid versus Barcelona. Kontestasi bukan sekadar bertanding biasa tetapi membawa pertarungan ideologi politik yang keras di Kuru Setra. Jika setiap pihak tak pandai berpolitik santun dan berkeadaban mulia, sembari mencegah kobaran bara politik yang merah menyala dan saling menjsta, tentu rakyat dan negeri tercinta pula yang akan menunai derita. Maka, dunia politik dan para elite bangsa perlu belajar hikmah dan perangai mulia kepada Buya Hamka!
from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2uLZvQ9Bagikan Berita Ini
0 Response to "Belajar Kepada Hamka"
Post a Comment