Search

Pilpres dan Literasi Data

Gejala disinformasi dan hoaks merupakan daur ulang cara usang.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Martino, Peneliti Arsip Nasional RI

Debat kandidat presiden dan wakil presiden selayaknya menjadi puncak refleksi kemampuan literasi data dan informasi bangsa. Sayangnya, debat perdana lalu berakhir antiklimaks. Padahal, debat itu sempat digadang menjadi pencerahan bagi ceruk pertentangan data, informasi, serta hoaks yang beredar di masyarakat. Pertarungan gagasan masih minim penyajian data dan informasi seputar isu yang diperbincangkan.

Mestinya, ajang tersebut merupakan panggung utama bagi calon pemimpin menyajikan program kerja beserta argumentasi akurat dengan literasi data dan informasi. Analisis data secara argumentatif memang dinanti banyak pihak. Hal itu diharapkan mencerahkan dan meyakinkan publik atas beragam isu untuk meraup simpati dan suara.

Maklum, menjelang pemilu publik lebih sering mengasup atmosfer politik yang memanas sebagai efek saling serang dalam isu agama, nasionalisme, keberagaman, dan kesejahteraan. Sementara itu, adu gagasan dan program pembangunan justru jarang dimunculkan.

Secara akumulatif, minimnya perdebatan program bersumber data akurat turut menurunkan potensi terbentuknya pemilih rasional. Ini justru menguatkan sikap politik berdasarkan sentimen personal semata. Potensi undecided voters dan golput kian tinggi.

Padahal, mereka berpotensi menciptakan selisih keunggulan suara sebagai kunci kemenangan. Jelang pilpres, upaya memainkan opini publik dengan mengesampingkan, bahkan mendegradasi fakta dan data informasi yang objektif kian marak.

Ada upaya menggiring publik untuk tutup mata terhadap data capaian dan langkah pembangunan pemerintah. Data tersebut dikaburkan dengan fabrikasi data dan informasi tandingan.

Hal ini krusial sebab tidak hanya membuat publik tidak objektif melihat permasalahan dan menilai kinerja pemerintah, tetapi juga tak mampu menakar janji politik oposisi. Apakah mereka benar-benar menghadirkan solusi, kebaruan, atau justru retorika semata?

Menjadi tantangan untuk mengolah serta menyampaikan program konkret berlandaskan argumentasi data yang rasional, tepat, sistematis, serta menyasar seluruh segmentasi masyarakat. Aliran informasi ke akar rumput bisa sangat efektif menggiring opini.

Tentu kita masih ingat strategi ‘gerilya’ Tabloid Obor Rakyat, yang berhasil mengoyak akal sehat masyarakat sehingga menegasikan kebenaran atau fenomena Pilkada DKI yang membuat data dan fakta capaian kinerja diluluhlantakkan politik identitas dengan isu SARA.

Kerja informasi

Gejala disinformasi dan hoaks merupakan daur ulang cara usang yang cukup berdampak. Sebagian masyarakat telanjur terjangkit post truth,­ di mana asumsi kebenaran hanya didasarkan keyakinan personal atau golongan, bukan rasionalisasi akal sehat sesuai fakta.

Dampaknya, muncul fanatisme buta yang tidak hanya menganggap salah satu pihak paling benar, tetapi juga tak segan menyerang dan menghakimi perbedaan pilihan.

Bagai sebuah paradoks, pada era keberlimpahan informasi yang dipacu teknologi informasi, justru upaya mendapatkan data valid menemui kesulitan berlipat. Dominasi kampanye negatif membuat para pihak sibuk menyerang dan mengklarifikasi tuduhan lawan politik.

Akibatnya, publik sendirian menakar berbagai program yang ditawarkan karena mesin politik yang terbata-bata mengolah data dan menyajikan informasi. Dalam silang pendapat antarkedua kubu di berbagai media, keyakinan publik sering kali dibuat rancu.

Maka itu, selayaknya jibaku para pemain utama, tim sukses, dan simpatisan sebagian besar berada pada kuadran pertarungan kebenaran data dan informasi yang mencerahkan. Perlu peningkatan kualitas argumentasi dalam setiap debat dan pemaknaan terhadap data informasi jika benar ingin memenangkan hati rakyat.

Let's block ads! (Why?)

from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2DdyY1U

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Pilpres dan Literasi Data"

Post a Comment

Powered by Blogger.