REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah sukses mengeluarkan sukuk hijau terbesar di dunia, pemerintah Indonesia menjajaki peluncuran sukuk biru. Pemerintah bekerja sama dengan United Nations Development Programme (UNDP) dalam perumusan instrumen keuangan dalam kajian Ekonomi Biru.
Inovasi pembiayaan diperlukan untuk memenuhi kesenjangan anggaran dalam upaya mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) yang dicanangkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Bappenas. Melalui Poverty-Environmental Initiative, UNDP membantu Pemerintah Indonesia dalam proses budget tagging.
Sebelumnya, ini yang menjadi salah satu fase dalam penerbitan Obligasi Hijau (Green Bonds) dan Sukuk Hijau (Green Sukuk) pada 2018 lalu. Masing-masing sebesar 1,75 miliar dolar AS untuk obligasi dan 1,25 miliar dolar AS untuk sukuk. Kajian Ekonomi Biru atau Blue Economy dilakukan oleh Innovative Financing Lab, UNDP.
Berkaca pada keberhasilan instrumen hijau, instrumen biru yang dikaji pun sama yakni obligasi dan sukuk. Keduanya sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah Laut dan lima pilar Rencana Aksi Nasional Pengelolaan Sampah Plastik di Laut 2017-2025.
Ini meliputi perubahan perilaku, pengurangan produksi sampah di darat, pengurangan produksi sampah aktivitas di laut, pengurangan produksi dan penggunaan sampah, serta peningkatan mekanisme pendanaan, reformasi kebijakan dan penegakan hukum.
Islamic Finance Spesialist UNDP, Greget Kalla Buana, yang juga tim kajian Ekonomi Biru menyampaikan sukuk biru bisa jadi lebih besar dari sukuk hijau mengingat potensi yang dimiliki Indonesia. Menurutnya, minimal jumlah sama seperti pendahulu.
"Secara khusus di bidang Ekonomi Biru, ada keselarasan nilai juga antara Tujuan 14 TPB dan Maqasid Syariah," kata dia pada Republika, Ahad (17/2).
Ini menunjukkan adanya keterkaitan yang nyata dan peluang kontribusi Keuangan Syariah terhadap pencapaian TPB. Direktur Pembiayaan Syariah, DJPPR, Kemenkeu, Dwi Irianti Hadiningdyah juga mengatakan sukuk adalah bentuk kontribusi masyarakat dan keuangan syariah dalam mencapai TPB.
Ekonomi Biru dimaknai sebagai pemanfaatan sumber daya laut yang berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan mata pencaharian dan pekerjaan, sekaligus menjaga kesehatan ekosistem laut dan pesisir. Beberapa sektor yang masuk dalam Ekonomi Biru antara lain lingkungan, keanekaragaman hayati laut, akuakultur, industri ekstraktif, perdagangan, perikanan, hingga pariwisata bahari.
Sama halnya dengan Ekonomi Hijau (Green Economy), Ekonomi Biru menjadi salah satu fokus dari TPB, terutama Tujuan 14 atau Kehidupan Bawah Laut. Staf Ahli Menteri PPN Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan, Amalia Adininggar Widyasanti menilai Ekonomi Biru berpotensi besar karena Indonesia adalah negara kepulauan. Sehingga Bappenas sebagai koordinator TPB pun memberi dukungan terhadap instrumen ini.
Indonesia terdiri atas lebih dari 17 ribu pulau dan menjadi salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Berdasarkan data yang dihimpun dari Kementerian Kelautan dan Perikanan per 2017, Indonesia merupakan bagian dari Coral Triangle dengan 18 persen karang dunia berada di wilayah perairan Nusantara.
Ini menjadikan Indonesia sebagai pemilik keanekaragam ikan terumbu karang tertinggi di dunia. Di sisi lain, 54 persen pasokan protein hewani Indonesia berasal dari ikan dan makanan laut.
Menurut RARE Indonesia 2019, kontribusi Indonesia pada komoditas laut global mencapai 10 persen. Terkait dengan itu, 2,8 juta rumah tangga Indonesia terlibat langsung dalam industri tersebut yang saat ini terancam oleh adanya penangkapan ikan yang berlebihan dan stok yang semakin menipis.
Namun demikian, laut juga ternyata menghasilkan karbon yang cukup signifikan. Sehingga selain untuk mempromosikan kegiatan kemaritiman, Ekonomi Biru juga bertujuan untuk meminimalkan dampak lingkungan.
Senior Advisor of Natural Resources Governance UNDP, Abdul Situmorang yang juga ketua kajian menyampaikan pendekatan Ekonomi Biru dapat membantu menggerakkan triple bottom line pembangunan berkelanjutan. Yakni kesejahteraan masyarakat, pelestarian lingkungan, dan pertumbuhan ekonomi.
"Prospek aktivitas-aktivitas perekonomian biru tersebut membutuhkan pendanaan, infrastruktur, dan penguatan kebijakan," kata dia dalam keterangan pers.
Asisten Deputi Bidang Navigasi dan Keselamatan Maritim, Kemenko Maritim, Odo Manuhutu mengatakan pembahasan tentang teknologi, ekologi, dan aspek ekonomi dari Ekonomi Biru harus dipertahankan. Sehingga Indonesia perlu berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan, juga melakukan studi kelayakan untuk memastikan komitmen di bidang ini.
Pembiayaan inovatif membutuhkan proyek-proyek inovatif yang mampu menghasilkan pendapatan dan berdampak bagi penghidupan. Selain itu, perlu dilakukan pemetaan dan kategorisasi ‘biru’ aktivitas di setiap sektor, sebagai contoh dark blue, medium blue, atau light blue.
Diskusi teranyar dari kajian ini dilakukan pada Jumat (15/2) pekan lalu. Turut melibatkan perwakilan dari beberapa kementerian terkait, seperti Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Koordinator Kemaritiman, Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Dalam Negeri, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, PT SMI, dan akademisi.
from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2SVp3aTBagikan Berita Ini
0 Response to "Indonesia Jajaki Penerbitan Sukuk Biru"
Post a Comment