REPUBLIKA.CO.ID, Cerpen Oleh: Ida Fitri
Sekali lagi Tengku Noh memperhatikan hasil pahatan kayu ceuradih di depannya, memastikan bulatan baloh itu benar-benar simetris. Gilingan inai sudah dipersiapkan Cut Mala, teknik pewarnaan kayu warisan leluhur menghasilkan permukaan licin dan mengilat.
Dahi lelaki yang beranjak lima puluh itu sedikit berkerut, ketika matanya menangkap guratan melengkung bewarna lebih gelap di sisi dalam kayu ceuradih itu. Ia letakkan kembali inai yang seyogianya dilumuri baloh. Tidak boleh ada hal semacam itu dalam proses pembuatan rapai.
“Pon Lah! Dari mana kau mendapatkan kayu ceuradih ini?" tanya Tengku Noh pada putra sulungnya yang baru pulang dari mengatur aliran air ke sawah mereka.
“Saya menebangnya di balik bukit, di mana pohon-pohon masih bersahabat dengan awan, Abu.”
Jemari Tengku Noh kembali meneliti guratan melengkung di baloh rapai, kemudian telinganya ia dekatkan ke guratan itu. Wajahnya menjadi lebih tegang, “Ini tak mungkin terjadi.”
Lelaki itu menatap putra sulungnya. Ada sesuatu yang mengganjal di hati sang pembuat rapai itu.
Langit hitam, pohon hitam, bintang dan rembulan hangus terbakar dan menghitam. Kicau burung Bajo Weu laksana mantra yang dibacakan seorang penyihir sambil meniupkan buhul-buhul untuk seorang perempuan muda yang berparas seperti buah mangga ranum.
Jangkrik menangis menyayat-nyayat kulit alam. Sesosok kepala yang tumbuh di dekat pohon ceuradih mengerjap-ngerjap, tapi yang terlihat tetap hitam. Telinganya kembali mendengar suara-suara sepatu yang menghantam bumi.
“Katakan! Kau sembunyikan di mana ketua gerombolan pemberontak itu?” orang-orang berbaju loreng datang ke rumahnya tanpa salam. Mulut lelaki yang meletakkan asap dapurnya pada pohon-pohon hutan itu terkunci seperti disengat ratu lebah. Apakah mereka sedang mencari ketua dari gerombolan lebah?
Ah, ia tak mengerti, apa yang sebenarnya sedang dibicarakan orang-orang berbaju loreng? Bahasa lebah lebih mudah dicerna. Pernah suatu kali, ketika ia sudah berada di dahan pohon yang batangnya dua kali pelukan orang dewasa, lelaki berkumis itu membatalkan niatnya mengambil madu dari sarang lebah yang sudah sebesar goni. Masalahnya, hanya karena ratu lebah memohon belas kasihan, ada benih-benih yang sudah diletakkan sehari sebelumnya di dalam sarang.
Badan lelaki itu tertanam dalam tanah, seluruh tubuhnya seperti lumpuh, kecuali mulut mengecap empedu. Orang-orang berbaju loreng tetap berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti, sementara telinganya terus mendengarkan derap sepatu-sepatu.
from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2DIMCvaBagikan Berita Ini
0 Response to "Sebuah Pertanda"
Post a Comment