REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ratna Puspita*
Baiq Nuril, staf Tata Usaha (TU) di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) divonis bersalah telah mentransmisikan atau mengirimkan percakapan bermuatan seksual atau melanggar kesusilaan. Mahkamah Agung (MA) dalam putusan kasasinya menyatakan Nuril bersalah dan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Putusan majelis hakim agung memerintahkan Nuril menjalani hukuman enam bulan kurungan dan denda Rp 500 juta. Putusan ini langsung mendorong kemunculan tanda pagar (tagar/hastag) #SaveIbuNuril #SaveBaiqNuril di media sosial.
Kontroversi putusan untuk Baiq Nuril mengingatkan saya pada putusan Prita Mulyasari pada hampir 10 tahun yang lalu. Prita digugat perdata dan pidana lantaran mengungkapkan pengalamannya mengenai layanan rumah sakit.
Kontroversi putusan untuk Baiq Nuril mengingatkan saya pada putusan Prita Mulyasari pada hampir 10 tahun yang lalu. Prita digugat perdata dan pidana lantaran mengungkapkan pengalamannya mengenai layanan rumah sakit.
Ketika kasusnya mencuat, Pengadilan Negeri Tangerang bahkan sudah memerintahkan agar dia membayar ganti rugi kepada RS Omni Internasional Alam Sutra. Ganti rugi terdiri dari Rp 161 juta sebagai pengganti uang klarifikasi di koran nasional dan 100 juta untuk kerugian imateril. Ganti rugi yang mendorong munculnya gerakan Koin untuk Prita di media sosial.
Setelah putusan perdata, Prita masih harus menghadapi dakwaan pidana di pengadilan yang sama. Bahkan, Prita sempat menjalani masa penahanan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, Banten.
Hampir satu dekade kasus tersebut, UU ITE telah mengalami amandemen atau revisi. Akan tetapi, persoalan ‘siapa yang mentransmisi atau mengirimkan’ terulang pada kasus Baiq Nuril.
Dalam kasus Prita pada 2009, dakwaan jaksa berfokus pada tindakan Prita menyebarluaskan. Kala itu, kubu Prita beralasan ia tidak menyebarluaskan.
Ia mengirimkan surat elektronik (surel) mengenai layanan rumah sakit pada sekitar 25 orang. Pada pemaknaan Prita, dan mungkin juga saya, menyebarluaskan berarti menyebarkan pada banyak orang. Banyak orang berarti ratusan atau di atas 100 orang.
Akan tetapi, tidak demikian pada sisi penegak hukum yang menganggap mentransmisi atau mengirimkan kepada 25 orang sudah termasuk tindakan menyebarluaskan. Bahkan, transmisi kepada satu orang sudah dapat dianggap menyebarluaskan.
Definisi transmisi ini kemudian diperjelas dalam revisi UU ITE, terutama penjelasan Pasal 27 ayat 1. Aturan itu menyatakan, yang dimaksud dengan “mentransmisikan” adalah mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui Sistem Elektronik.
Pasal itu dengan tegas menyebutkan satu pihak lain. Satu. Saya menduga inilah kemudian yang menyebabkan perbedaan penafsiran majelis hakim di Mahkamah Agung (MA) dan Pengadilan Negeri (PN) Mataram.
Kemudian, majelis hakim agung di MA menyatakan tindakan Nuril melanggar Pasal 45 UU ITE. Aturan tersebut berbunyi: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pengabaian terhadap korban
Selain penafsiran terhadap redaksional UU ITE, persamaan lain antara kasus Prita dan Nuril tampak pada pengabaian terhadap korban. Prita merupakan korban dari layanan rumah sakit yang tidak memuaskan, sedangkan Nuril merupakan korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh kepala sekolah.
Kedua kasus ini menunjukan penegak hukum mengabaikan konten yang disebarluaskan. Saya, sebagai awam hukum, memandang penegak hukum seharusnya membuktikan lebih dulu isi konten yang disebarluaskan dibandingkan mempersoalkan siapa yang mentransmisi atau mengirimkan.
Dalam kasus Prita, hal yang seharusnya dipersoalkan adalah membuktikan layanan yang buruk, bahkan penipuan. Jika tuduhan tersebut tidak benar maka kemudian bolehlah mempersoalkan pesan sudah ditransmisikan.
Begitu pula dalam kasus Baiq Nuril. Hal yang seharusnya dipersoalkan adalah isi konten, yakni kepala sekolah mengirimkan pesan mengarah pada seksual atau mesum sehingga mengganggu privasi orang.
Soal ini, Komnas Perempuan sudah menyorotinya ketika kasus Nuril muncul ke publik. Ketua Komnas Perempuan Azriana R Manalu menyayangkan sejak awal penegak hukum tidak menyoroti pelecehan seksual yang diterima Nuril.
"Sejak di penyidikan pelecehan seksual tidak pernah dikembangkan pemeriksaannya. Jadi UU ITE terus, padahal 'kan objek yang disebut muatan asusila itu bisa dikategorikan pelecehan seksual," kata Azriana.
Hal yang lebih menyedihkan, MA ternyata telah menerbitkan Peraturan MA RI nomor 3 tahun 2017 tentang pedoman mengadili kasus-kasus perempuan berhadapan dengan hukum. Peraturan tersebut mencoba untuk mengintegrasikan dimensi gender dalam perkara di pengadilan.
Di sisi lain, pengabaian terhadap korban ini membuat masyarakat selayaknya khawatir dengan kasus-kasus serupa. Pada masa di mana ruang berekspresi melalui media sosial memungkinkan kita untuk menceritakan pengalaman buruk mengenai layanan atau perlakuan orang lain lebih terbuka, ancaman pidana justru menganga.
Alih-alih mendapatkan keadilan, ruang berekspresi itu berpotensi menjerat kita dalam kasus hukum. Pidana yang membuat kita mungkin terkena pidana penjara atau pidana denda.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id
from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2zpDedlBagikan Berita Ini
0 Response to "Persoalan ‘Kirim Pesan’ yang Menjerat Baiq Nuril"
Post a Comment