REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Endro Yuwanto *)
Andai saja tim nasional (timnas) Indonesia U-19 mampu melewati adangan Jepang U-19 di perempat final Piala Asia U-19 2018 dan lolos ke semifinal, tim asuhan Indra Sjafri itu akan meraih tiket ke Piala Dunia U-20 2019. Namun kekalahan 0-2 dari Negeri Matahari Terbit, Ahad (28/10), di Stadion Utama Gelora Bung Karno Senayan, memupuskan harapan mengulang sejarah 40 tahun silam saat Indonesia tampil di Piala Dunia U-20 1979.
Kurang sebulan sebelumnya, atau pada Senin (1/10), timnas Indonesia U-16 juga nyaris melaju ke Piala Dunia U-17 2019. Namun di laga perempat final Piala Asia U-16 2018, skuat asuhan Fachri Husaini harus mengakui keunggulan Australia, 2-3, di Stadion Nasional Bukit Jalil, Kuala Lumpur, Malaysia.
Di level timnas senior, Indonesia juga nyaris melaju ke Piala Dunia 1986. Namun kekalahan agregat 1-6 dari Korea Selatan (Korsel) pada babak kedua Zona B AFC Kualifikasi Piala Dunia 1986 mengubur impian tim Merah Putih menuju Piala Dunia. Meski gagal, pencapaian timnas arahan Sinyo Aliandoe menjadi salah satu yang terbaik karena nyaris lolos ke Piala Dunia.
Sebelum era Sinyo, Indonesia lolos ke Piala Dunia 1938 saat masih bernama Hindia Belanda dan dilatih oleh Johannes Christoffel van Mastenbroek. Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) pun mengakui Indonesia sebagai wakil pertama Asia di Piala Dunia.
Jepang, Korsel, dan Arab Saudi adalah negara-negara Asia yang sudah sering tampil di pesta sepak bola sejagat itu. Kendati ketiga tim tersebut paling sering muncul di Piala Dunia, rupanya FIFA mengakui bahwa wakil pertama dari Benua Asia di Piala Dunia adalah Indonesia.
Dalam sebuah sesi tanya jawab di media sosial Twitter, terdapat pertanyaan tim Asia manakah yang pertama kali tampil di Piala Dunia? Dalam kicauan di akun resminya, FIFA menjawab, "Hindia Belanda, dikenal saat ini dengan Indonesia, tampil dalam edisi 1938 di Prancis."
Namun, kelolosan Hindia Belanda ke Piala Dunia bisa dibilang sebuah keberuntungan. Bagaimana tidak, grup kualifikasi Asia untuk Piala Dunia 1938 terdiri dari dua negara, Hindia Belanda dan Jepang, karena saat itu dunia sepak bola Asia memang hampir tidak ada.
Namun, Hindia Belanda akhirnya lolos ke Piala Dunia 1938 tanpa harus menyepak bola setelah Jepang mundur dari babak kualifikasi karena sedang berperang dengan Cina. Di Piala Dunia 1938, Hindia Belanda pun langsung tersingkir setelah takluk 0-6 dari Hongaria pada partai perdana.
Keberuntungan Indonesia kembali terulang saat lolos ke Piala Dunia U-20 1979 di Tokyo, Jepang. Sebelumnya, dua tiket menuju Piala Dunia U-20 1979 diperebutkan tim-tim asal Asia pada ajang Piala Asia Junior 1978.
Selain tuan rumah Jepang yang lolos otomatis, dua jatah negara Asia diberikan kepada juara dan runner-up Piala Asia Junior 1978. Korsel tampil sebagai juara dan Irak di posisi kedua. Adapun Indonesia sudah tersingkir sejak perempat final.
Namun nasib mujur skuat Garuda Muda sedang berjalan. Irak mengundurkan diri dengan alasan politis. Slot kosong diberikan kepada Korea Utara (Korut) yang menghuni peringkat ketiga. Namun, lagi-lagi dengan alasan politis, Korut juga menolak.
Selain Irak dan Korut, negara Timur Tengah lain yang menjadi perempat finalis pun melakukan aksi boikot. Tersisa Indonesia yang bak mendapat durian runtuh untuk menemani Korsel.
Indonesia kemudian tergabung dalam Grup B bersama tim yang levelnya jauh lebih tinggi, Argentina, Polandia, dan Yugoslavia. Hasilnya, timnas Indonesia U-20 menjadi bulan-bulanan. Kalah 0-5 dari Argentina yang diperkuat Maradona, lalu takluk 0-6 dari Polandia, dan ditutup kekalahan 0-5 dari Yugoslavia.
Kata 'nyaris' dan 'beruntung' mungkin bisa disematkan ke timnas Indonesia jika berbicara tentang tampil di Piala Dunia. Dari catatan sejarah, jika tidak nyaris lolos, berarti Indonesia sedang beruntung bisa tampil di Piala Dunia. Tanpa mengesampingkan jerih payah dan pengorbanan para pesepak bola Tanah Air, sejauh ini agaknya memang masih sulit bagi Indonesia untuk melangkah mulus ke Piala Dunia.
Negara-negara raksasa sepak bola di Asia Timur, seperti Jepang dan Korsel, serta negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, Irak, dan Iran, tentu menjadi sandungan utama Indonesia untuk lolos dari kualifikasi. Masih ada pula negara seperti Australia, Uzbekistan, Cina, dan Qatar, yang memiliki kualitas tak kalah dari negara raksasa Asia. Belum lagi persaingan di level Asia Tenggara yang kian ketat.
Memang, banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Indonesia yang sudah tertinggal sejak lama, misalnya oleh Jepang dan Korsel. Tak mudah untuk mempersempit jarak ketinggalan itu karena negara-negara raksasa itu telah memberikan perhatian pada skema pengembangan pemain muda dan infrastruktur bertahun-tahun silam. Bisa dibilang Indonesia sedikit terlambat.
Soal bibit unggul sepak bola, tak perlu dipertanyakan lagi. Indonesia tak kalah dengan juara Piala Dunia lima kali, Brasil, dalam hal produksi dan stok talenta berbakat. Yang terpenting adalah komitmen serius untuk mengembangkan pemain muda sehingga kelak menjadi penggawa siap pakai di timnas senior.
Tentu harus tetap ada program jangka panjang untuk para pemain muda. Lihat saja, Jepang kini sudah menargetkan juara dunia di tahun 2050 dan sudah membuat langkah menuju ke sana. Negara-negara seperti Jepang, Korsel, dan Arab Saudi, juga memiliki liga profesional yang sangat baik dalam aspek pelatihan dan fasilitas bermain. Ini yang mungkin masih kurang di Tanah Air.
Agaknya pekerjaan rumah sepak bola Indonesia masih cukup banyak. Sebanyak kesempatan yang dimiliki skuat Garuda untuk terus berbenah. Jika semua proses itu sudah berjalan dengan maksimal, semoga tak ada lagi kata 'nyaris' atau hanya mengharapkan keberuntungan untuk menuju perhelatan Piala Dunia.
*) Jurnalis Republika.co.id
from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2CXzNNKBagikan Berita Ini
0 Response to "Nyaris"
Post a Comment