Search

Tsunami Mengancam Kala tak Ada Lagi Buoy di Lautan Kita

Sebagian buoy rusak akibat aksi vandalisme.

REPUBLIKA.CO.ID, Laut di Indonesia ternyata telah bersih dari alat pendeteksi tsunami (buoy) sejak 2015. Buoy-buoy telah diangkut dari laut karena banyak yang sudah tidak lagi berfungsi.

Kepala Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT M Ilyas mengatakan, Indonesia mulai memasang buoy tsunami sejak 2005. Pemasangan itu dilakukan dengan inisiatif sendiri maupun kerja sama dengan berbagai negara.

"Jadi yang banyak dulu itu 2005, ada beberapa yang dipasang kerja sama dari beberapa negara. Kita sendiri hanya ada sembilan yang dibuat dan dipasang BPPT sendiri," kata dia saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (2/10).

Tak hanya itu, BPPT juga pernah bekerja sama dengan Jerman untuk memasang sembilan unit buoy pada 2005. Namun, buoy itu tak berfungsi dengan baik.

Pada tahun yang sama, lanjut Ilyas, BPPT juga bekerja sama dengan Malaysia memasang satu unit buoy di Pulau Rondo, utara Aceh. Setelah itu, tiga unit buoy terpasang berkat kerja sama dengan Amerika Serikat.

"Satu di sekitar Pulau Siberut, satu di selatan Bali, dan satu lagi di utara Papua. Itu bukan melindungi kita tapi negara mereka di sekitar Pasifik. Namun kita bisa akses datanya," ujar dia.

Masalahnya, pemasangan buoy-buoy itu tidak ditindaklanjuti dengan operasional yang memadai. Pasalnya, Ilyas menegaskan, dalam menggunakan buoy untuk mendeteksi tsunami, bukan hanya pemasangan yang harus dilakukan, melainkan juga biaya pemeliharannya.

Ia mengatakan, tugas BPPT sebenarnya hanya membantu instansi seperti BMKG, untuk mengkaji teknologi terkait kebencanaan. Ihwal biaya pemeliharaan, anggaran BPPT tak dapat mencukupinya.

"Anggaran BPPT lebih diprioritaskan untuk memelihara kapal kami sendiri," kata dia.

Ilyas berasumsi, anggaran pemeliharaan satu unit buoy tsunami per tahun bisa mencapai lebih dari Rp 3 miliar. Ia mencontohkan, untuk mengecek buoy di Laut Banda, diperlukan waktu sekitar 20 hari menggunakan kapal laut dari Jakarta. Sementara, biaya operasi kapal per hari bisa mencapai Rp 150 juta.

"Itu hanya perjalanannya saja, belum pemeliharannya, perbaikan, dan lain-lain," kata dia.

Menurut Ilyas, persoalan anggaran pemeliharaan buoy tsunami sebenarnya sudah disampaikan ke BMKG. Pasalnya, tugas BPPT hanya membuat, memasang, dan melakukan kerja sama dengan pihak luar negeri untuk buoy. Namun, untuk biaya pemeliharaan, kata dia, harus ada yang mengambil alih.

Terkait kesiapan secara teknologi, ia mengklaim BPPT sudah sanggup membuat buoy tsunami. Namun untuk pemeliharaan, anggaran yang terbatas tak memungkinkan bagi BPPT tetap merawat buoy secara maksimal.

Menurut Ilyas, untuk mendeteksi tsunami di seluruh wilayah Indonesia, setidaknya harus ada 22 buoy yang terpasang. Ia memetakan, sepanjang barat Sumatra butuh lima unit, Selat Sunda sampai selatan Papua tujuh unit, Palu satu unit, utara Manado satu unit, antara Manado dengan Maluku Utara satu unit, antara Papua dengan Maluku Utara satu unit, Pasifik satu unit, utara Papua satu unit, Laut Banda dua unit, utara Sumba satu unit, dan utara Lombok satu unit.

"Itu yang harus dipasangi buoy," kata Ilyas.

Kondisi ini diperburuk dengan aksi vandalisme masyarakat tak bertanggung jawab. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, buoy-buoy di laut Indonesia telah rusak sejak 2012 akibat aksi vandalisme.

"Buoy rusak dan tidak beroperasi sejak 2012. Kalau menurut kajian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), buoy rusak karena vandalisme, misalnya lampunya yang kedap-kedip diambil," katanya saat konferensi pers update gempa dan tsunami Sulteng, di Jakarta Timur, Senin (1/10).

Baca juga:

Peringatan dini berbasis kabel

Belakangan, BPPT berencana membangun inovasi baru dalam mitigasi bencana khususnya gempa dan tsunami. Salah satu inovasi tersebut adalah dibangunnya Cable Base Tsunami Meter (CBT) di seluruh wilayah-wilayah Indonesia yang memiliki risiko tinggi tsunami.

Deputi Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA) BPPT, Hammam Riza menjelaskan pemasangan buoy memang lebih murah dan cepat dibandingkan dengan pemasangan CBT. Namun, perawatan satu buah buoy dapat mencapai Rp 150 juta per harinya. Padahal, buoy harus terus dilakukan perawatan agar tidak rusak.

"Pada 2012 itu dengan semua proses yang ada, kita mulai berpikir untuk menggunakan CBT. Sekarang kita ingin fokus ke CBT. Dibandingkan dengan buoy, modalnya lebih mahal. Tapi operasionalnya lebih murah dari buoy," kata Hammam, dalam diskusi bertema Teknologi Mitigasi Bencana Gempa dan Tsunami, di Kantor BPPT, Kamis (4/10).

Ia menjelaskan, CBT sudah banyak dilakukan di Jepang. Ia menilai program tersebut sangat bagus dan sudah cukup lengkap. Menurut Hammam, pembangunan CBT bisa dibarengi dengan program pemerintah Palapa Ring yakni jaringan serat optik nasional yang akan menjangkau seluruh Indonesia.

"Kita menginginkan ada political will untuk bisa memanfaatkan kabel laut itu agar bisa jadi sistem deteksi untuk tsunami," kata Hammam.

Namun, saat ini BPPT masih dalam tahap pembuatan proposal untuk pemasangan sensor deteksi dini gempa dan tsunami di kabel bawah laut. Teknologi ini sebelumnya pernah dikembangkan menjadi prototipe oleh BPPT dan berfungsi baik, meskipun hanya dalam jarak 2 kilometer dari bibir pantai.

Selain menyusun konsep CBT, BPPT juga memiliki program mitigasi lainnya berkaitan dengan gempa. Kedua program tersebut diberi nama Sijagad dan Sikuat. Sijagad adalah Kajian Kendala Struktur Gedung Bertingkat terhadap Ancaman Gempa Bumi. Sementara Sikuat adalah Sistem Pemantauan Kesehatan Struktur Gedung Akibat Gempa Bumi.

[video] Gempa Palu, Warga Petobo: Lumpur Berputar Keluar dari Tanah

Let's block ads! (Why?)

from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2IDJ0eX

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Tsunami Mengancam Kala tak Ada Lagi Buoy di Lautan Kita"

Post a Comment

Powered by Blogger.