REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kitab dengan judul lengkap Maqamat al-'Ulama Bain Yaday al-Khulafa' wal al-Umara' ini termasuk warisan yang sangat langka dan istimewa dari Imam al-Ghazali. Memuat kurang lebih 60 contoh kasus bagaimana sikap dan pendirian sejumlah tokoh di hadapan kekuasaan, ketika mereka harus berinteraksi dengan elite pemimpin.
Melalui kitab yang manuskripnya juga ditemukan di Berlin, Jerman ini, al-Ghazali menyarikan beberapa kasus penting dan tercecer di berbagai sumber primer atau pun sekunder. Tidak hanya pada kasus ulama, tetapi juga sejumlah pembesar Quraisy dan tokoh penyair tersohor pra-Islam.
Beragam peristiwa yang dinukilkan al- Ghazali itu menunjukkan independensi, kredibilitas, integritas, dan kejernihan mereka di hadapan kekuasaan. Nasihat- nasihat yang mereka berikan tetap berbobot meski disampaikan di hadapan raja atau khalifah, elite tertinggi ketika itu.
Kita lihat bagaimana Qis bin Sa'adah, nama lain dari `Amar bin Addi, penyair terkemuka masa jahiliyah, pernah berhadapan dengan salah seorang kaisar Romawi. Qis mendapatkan sederet pertanyaan tentang pesan-pesan hikmah dan kebijaksanaan.
Tanpa rasa segan, Qis menjawab satu per satu pertanyaan itu dengan keterbukaan dan integritas. "Apa ilmu yang utama? tanya kaisar.
"Praktiknya seseorang atas ilmunya," jawab Qis.
"Apa maruah yang utama? Qis menjawab, "Ketika dia mempertahankan air suci di mukanya."
Dan apa harta yang utama? (Yaitu) harta yang digunakan untuk menopang kebenaran.
Di bagian lain kitabnya ini, al-Ghazali yang merupakan tokoh kelahiran Thus, Persia ini menukilkan kisah Amri' al-Qais bin Amar bn Amri' al-Qais al-Lukhami, raja terkemuka yang diklaim sebagai peletak pertama persembahan terhadap berhala, pada masa Jahiliyah.
Namun, pada pengujung hidupnya, Amri' yang dikenal dengan kehidupan glamor dan gemerlap duniawi itu, beranjak sadar. Dia berhenti berfoya-foya. Di level inilah, Amri' mulai menampakkan sikapnya yang bijak.
Suatu hari, Amri' keluar dari kediaman nya dan berjalan-jalan. Di tengah perjalanannya, dia bertemu dengan sosok nelayan yang membawa keranjang. Tampak si nelayan tadi mengumpulkan tulang belulang manusia dan merapikannya. Penasaran dengan apa yang dilakukan si nelayan itu, Amri' pun bertanya.
Wahai fulan, ceritakan apa yang terjadi denganmu? Saya lihat kondisi Anda buruk sekali dan sendirian dalam aktivitas seperti ini?
Lalu, si nelayan menjawab, Perubahan kondisi dan lusuh rupaku karena sejatinya aku dalam sebuah perjalanan, bersama dua malaikat yang terus menyeruku menuju rumah yang sempit, lubang yang gulita, tempat yang jauh, lalu menyerahkanku menuju ujian sebenarnya berteman kebinasaan, di antara tumpukan jenazah. Seandainya saja aku tinggalkan tempat itu bersama kering, sempit, dan binatangnya, hingga tulangku terpisah, dan hewan-hewan tanah menggerogoti daging, tulang, dan nadiku, lalu aku kembali utuh dan tersusun lagi, tentu itu akan menjauhkanku dari bala, dan mendatangkan kesem buhan. Tetapi aku lebih memilih riuhnya Padang Mahsyar, dan mendatangi tem pat pembalasan, dan tidak tahu ke mana kah tempatku berpulang, surga atau neraka? Lalu, kehidupan seperti apa lagi mereka yang menyadari akan begini akhir hidupnya?
Setelah mendengar pernyataan yang menggetarkan hati itu, tiba-tiba si Amri langsung turun dari kudanya dan menghampiri si nelayan kemudian berkata, Perkataanmu mendadak membuat keruh hidupku yang selama ini indah, dan menikam jantung kalbuku, ulangi dan jelaskan apa maksud perkataanmu tadi.
Si nelayan tadi pun menjelaskan maksud perkataan dan motifnya mengumpulkan tulang belulang. Dia menjelaskan, tulang belulang tersebut merupakan milik para raja yang telah terlenakan gemerlap dunia, mereka telah tertipu muslihat dunia dan terbuai untuk tetap waspada dari pertarungan itu, hingga akhirnya ajal menjem put, mereka dihinakan oleh harapan pal su dan tercerabut dari kenikmatan, lalu me ninggalkan mereka dalam lapisan tanah. Tulang belulang ini akan kembali di hidupkan kemudian menerima pembalasan. Bisa jadi balasannya surga atau juga malah menuju neraka.
Penjelasan ini membuat Amri' lemas seketika. Nasihat itu benar-benar mengena dan membuatnya tersadar. Dia memutuskan mengembara dalam kese der hanaan, melepaskan baju kemewahan, dan ber kelana. Inilah akhir dari Amri' hingga jejak nya tak lagi terlacak.
Integritas ulama di hadapan penguasa juga terlihat jelas ketika Amar bin `Abid, diminta memberikan nasihat langsung oleh Khalifah al-Manshur. Sang khalifah meski dikenal kecintaannya terhadap ilmu, tetapi pada saat yang sama tersohor dengan tangan besinya. Pemimpin tertinggi Dinasti Abbasiyah itu tak segan memen jarakan ulama bahkan berlaku bengis kepada mereka.
Amr lantas menyampaikan nasihatnya, Ingatlah Allah jika Anda memiliki misi tertentu, Ingatlah Allah di tangan Anda saat bersumpah dan dalam vonis Anda.
Sang khalifah menangis. Lanjutkan wahai Abu Utsman.
Amr mengatakan, Waspadai rumah yang Anda masuki dengan susah payah, dan yang Anda tinggali secara gaduh, lalu Anda keluar darinya dengan diusir. Nasihat ini semakin membuat al-Manshur menangis.
Kisah lain yang dinukilkan Imam al- Ghazali adalah kisah integritas Syabib bin Syaibah di hadapan khalifah al-Mahdi, putra al-Manshur. Tak jauh berbeda dengan sang ayah, al-Mahdi juga menerapkan kebijakan dan pola kepemimpinan yang sama. Dia terkenal otoriter dan sangat ketat terhadap mereka yang dianggap lawan politik dan membahayakan sing gasananya, termasuk dari kalangan ulama.
Tanpa basa-basi, setelah mengucapkan salam, Syabib menyampaikan petuahnya.Wahai pemimpin umat Islam. Sesungguhnya Allah SWT ketika membagi rezeki, Dia tidak ridha untukmu dari dunia kecuali yang terbaik dan tertinggi. Maka, janganlah engkau berpuas diri dari akhirat, kecuali persis seperti apa yang telah Allah karuniakan kepadamu dari dunia. Bertakwalah kepada Allah. Bukalah pintu maaf dalam kuasamu. Lawanlah hawa nafsu.
Tanpa sendok
Nasihat yang disampaikan tak selamanya dalam kesempatan yang formal. Dalam beberapa kesempatan, sejumlah ulama menyampaikan petuah bijaknya ketika tengah berada dalam suasana rileks, seperti kala mereka tengah satu meja bersama sang khalifah. Ini antara lain seperti yang pernah dialami Imam Abu Yusuf al-Qadhi.
Suatu ketika, dia diundang makan bersama khalifah Harun ar-Rasyid. Namun, di tengah-tengah jamuan, ternyata pelayannya lupa menyiapkan sendok. Mengetahui hal ini, sang khalifah naik pitam dan memarahi pelayan tadi sejadi- jadinya.
Perlakuan yang ditunjukkan sang khalifah ini tentu membuat Imam Abu Yusuf tak enak hati lalu tergerak memberikan nasihat. Wahai pemimpin umat Islam, telah diriwayatkan dari kakekmu, Abu al-Abbas Abdullah bin Abbas, yang menafsirkan ayat ke-70 surah al-Isra':Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Menurut kakekmu, bentuk pemuliaan itu adalah bahwa se tiap makhluk akan memakan meng guna kan mulutnya kecuali manusia yang makan memakai tangannya. Lalu, saat pe layan mendatangkan sendok, sang khalifah mengambil kemudian mematahkannya. Dia lantas makan menggunakan tangan tanpa sendok. Benar apa yang dikatakan kakekku, kata khalifah Harun.
Nasihat Imam Husein untuk Sang Ayah
Di antara bagian yang menarik dari kitab al-Ghazali ini, ialah kisah yang dia nukilkan tentang kedekatan antara Ali bin Abi Thalib dan putranya, Husein. Kisah ini juga mengisyarakatkan pentingnya pendidikan langsung oleh orang tua kepada anaknya.
Suatu waktu, saat menjabat sebagai khalifah, Ali bin Abi Thalib pernah meminta putranya, Husein, yang ketika itu masih belia, agar berpidato dan menyampaikan nasihat sebelum ajal menjemput. "Berpidatolah agar aku mendengar nasihatmu sebelum kematianku," kata Ali.
Mendengar permintaan itu, Husein bergegas berdiri dan berceramah, Segala puji bagi Allah yang barang siapa berbicara akan didengar perkataannya, dan barang siapa diam, akan terungkap apa yang ada dalam jiwanya, barang siapa yang hidup berhak atas rezekinya, dan barang siapa meninggal akan menuju tempat kembali.
Amma ba'du. Sesungguhnya kematian adalah tujuan kita, hari kiamat adalah waktu perjanjian kita, dan hanya Allahlah Pengatur kita. Dan, sesungguhnya Ali adalah pinta yang siapa pun memasukinya akan beriman dan barang siapa keluar darinya akan menuju kekufuran.
Sang ayah kemudian berdiri menghampiri Husein dan merangkulnya, mencium kening dan membisikkan kalimat, Demi ayahku dan ibuku wahai anakku, keturunan adalah sebagian dari sebagian yang lain (ucapan doa). Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2D0fdxOBagikan Berita Ini
0 Response to "Sikap Ulama di Hadapan Penguasa"
Post a Comment